Sabtu, 20 Juni 2009

KALI INI SOAL BATIK


Tanggal 20 Juni 2009 lalu saya dan beberapa teman menghadiri sebuah pagelaran rancang busana berbahan dasar batik, khususnya batik ala Kota Tegal. Cukup menarik, itu kesan yang saya peroleh. Dalam beberapa jam saya "menikmati" gaya hidup sosialita Yogyakarta, dan sempat juga makan gratis dengan menu khas daerah Tegal. Pulangnya pun kami menenteng suvenir berupa jajanan atau buah tangan khas Tegal, yakni teh tubruk, pilus, telur asin, pia, dan kacang bawang. Kami pun pulang dengan puasnya, namun bukan hanya lantaran tampilan fashion dan suguhan yang kami peroleh, tentu lebih dari itu.

Saya yakin dari semua hadirin yang hadir saat itu belum semua tahu bahwa Kota Tegal dan sekitarnya memiliki batik yang khas. Selama ini kita kebanyakan mengenal batik Pekalongan. Meskipun bertetangga, nampaknya kepopuleran Pekalongan sebagai penghasil batik belum dapat disamai oleh Tegal.

Motif yang ditawarkan Batik Tegal cenderung bernuansa alam. Tegal sebagai wilayah pantai mungkin sama halnya dengan Cirebon, Madura, Pekalongan dan pesisir pantai lainnya nampak menyukai motif burung serta dengan ukuran motif yang lumayan lebih besar dibandingkan dengan batik Solo dan Yogyakarta. Warna yang ditawarkan pun lebih "berani", dan terus terang sangat mengingatkan saya akan motif batik Madura.

Ada yang menarik dari apa yang diungkapkan Ketua Paguyuban Pencinta Batik Indonesia Sekar Jagad Yogyakarta, Larasati Suliantoro, tiga hari sebelum pagelaran batik Tegal ini berlangsung. Menurutnya langkah pemerintah untuk membiasakan tradisi penggunaan batik di kalangan PNS belakangan ini belum optimal. Tentu saya bertanya-tanya, apa yang dimaksud sebagai "belum optimal" yang keluar dari pendapat Ibu yang masih terlihat cantik diusianya yang sudah sepuh ini. Apakah yang dimaksud soal intensitas penggunaan (jadi harus lebih sering tidak hanya hari kamis dan atau Jumat), atau soal model (apa mesti harus ada standar model pakaian kerja ala batik) atau apa?? Ternyata bukan itu yang dimaksud Beliau.

"Memang pemerintah sudah mengarahkan agar semua pegawai memakai batik, tetapi batik jenis apanya tidak ditentukan sehingga yang dipakai bukan batik sungguhan. Kami memohon Bapak Gubernur mau menjadikan Yogyakarta sebagai kota batik sungguhan," Begitu ujar Beliau. Tambah Bu Larasati, saat ini berkembang pengertian yang salah tentang batik. Secara umum, masyarakat memilah batik menjadi tiga, yakni batik tulis, cap, dan printing. Padahal, yang bisa disebut batik berdasarkan metode pembuatannya hanya batik tulis dan batik cap, atau kombinasi keduanya, sedangkan batik printing tidak bisa disebut sebagai batik. Sayangnya, sekarang ini kita lebih mudah menjumpai kain tekstil dengan motif menyerupai batik atau yang disebut batik printing. Bahkan wisatawan yang datang ke Yogyakarta sendiri (yang dikenal sebagai sentra batik) tidak mudah menemukan produk batik yang tulis atau cap.

Wowww.. padahal kita tahu sendiri bagaimana jarak harga diantara ketiga jenis batik tersebut. Katakanlah batik tulis kisarannya Rp. 200.000 ke atas, batik cap sekitar Rp 80.000 ke atas, sedangkan batik printing (hehehe) Rp 10.000 per meter juga ada. Bisa dibayangkan kalau seorang PNS bergolongan rendah (seperti saya) diwajibkan menggunakan batik tulis atau cap, tentu bagus secara tampilan dan seni, tapi secara nilai ekonomis mungkin belum tentu terjangkau (atau pasti tidak terjangkau).

Selain pagelaran batik ala Kota Tegal, kami juga hang out di pameran batik nusantara pada hari yang sama. Kami takjub bukan kepalang, melihat koleksi batik sekitar 180-an yang berasal dari berbagai penjuru tanah air. Belum lagi keterangan-keterangan pada beberapa motif batik yang menerangkan falsafah pada pola yang terdapat didalamnya. Subhannallah, ternyata sebegitu "njelimetnya", dan sebegitu dalamnya makna yang terkandung. Hal ini khususnya kami temui pada batik Surakarta dan Yogyakarta. Batik peningset, ada maknanya sendiri.. batik siraman pengantin ada artinya lagi.. yang jelas kami sebagai orang Indonesia yang mengaku cinta batik malu sendiri karena baru tahu akan hal ini. Belum lagi kami menemui batik-batik dari Kota Sragen, Klaten, Tasikmalaya, Pati, Kudus, Semarang, Tuban dan lain sebagainya yang selama ini belum pernah kami lihat. Bukan hanya kami yang senyum-senyum sendiri menertawakan "kekuperan" soal batik, ternyata pengunjung-pengunjung lainnya pun demikian.

Ahai.. dari 240 juta penduduk Indonesia mungkin baru segelintir orang yang tahu dan mau tahu tentang batik. Namun masih segar diingatan kami, betapa "murkanya" orang Indonesia ketika negeri tetangga mengklaim batik sebagai produk seni kerajinannya.

Lebih dari itu saya semakin menyadari benarnya pernyataan mendiang Ann Dunham Ibunda dari Barack Obama yang mengaku semakin mengenali budaya Indonesia dari batik yang dikaguminya. Batik bukan sekedar alat sandang, namun juga bercita rasa seni. Seni yang bernilai tinggi wajar saja jika harus ditebus dengan ongkos ekonomi yang relatif tinggi. Di masa silam maupun kini kain batik tulis masih dinilai sebagai benda bernilai ekonomi tinggi, contoh paling sederhana nampak dari diterimanya kain batik sebagai alat gadai.

Mengingat posisi batik yang bukan sekedar bahan sandang dan citra namun sudah menyentuh tataran seni tingkat tinggi, batik menjadi "mahal" di kalangan masyarakat Indonesia pada umumnya. Tentu yang saya maksud terminologi batik sesuai pendapat Bu Larasati. Sebagai benda bernilai seni tinggi, menjadi hal yang wajar bila tidak semua orang mampu dan mau memilikinya. Mungkin ada yang mampu namun tidak melihat batik sebagai hal yang indah atau istimewa, atau ada yang menyukai batik dan mencintai keindahannya namun tidak mampu membeli.

Sebagai nilai seni, maka penggunaan batik yang "dipaksakan" tentu berdampak pada menurunnya keindahan pada batik atau penggunanya itu sendiri. Bagi mereka yang sudah mampu mengenakan batik tulis dan cap juga seyogyanya tidak "ngenyek" kalangan yang sebatas menggunakan batik printing. Dengan perspektif seni, maka ini tidak bedanya dengan seorang awam yang sinis terhadap kalangan pecinta lukisan yang tak segan menghabiskan bermilyar uang hanya demi sebuah gambar. Mereka terheran-heran akan sesuatu hal yang memang berada di luar jangkauan pikiran, kemampuan dan seleranya.

Mungkinkah batik tulis dan batik cap harganya semakin terjangkau di kalangan masyarakat? Memang tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, namun untuk kasus ini saya lebih berpihak kepada yang jangan mungkin. Biarkan saja batik tulis dan batik cap menjadi tetap "eksklusif", kalau harga semakin turun dan menjadi terjangkau oleh sebagian besar kalangan justru ditakutkan ada yang hilang dari nilai batik itu sendiri. Saya hanya ingin batik tetap sebagai batik apa adanya.

Minggu, 07 Juni 2009

HANYA OPINI TENTANG KONTES RATU KECANTIKAN


Haha.. agak trauma saya mendengar kasus Prita Mulyasari yang digugat berkaitan dengan sharing-nya, jadi saya tegaskan ini hanya opini, jadi boleh setuju atau sebaliknya.

Sudah lama saya tidak melihat ajang kontes kecantikan baik yang berskala nasional maupun internasional. Beberapa hari ini ada beberapa komentar atau perbincangan di internet mengenai pemilihan miss indonesia yang baru saja berlangsung.

Untuk mengatakan dukungan terhadap kontes kecantikan terus terang saya tidak mampu, namun saya menghargai bila memang masih banyak orang yang merasa perlunya kontes-kontes seperti ini. Tentu ini bukan lantaran saya frustrasi karena tidak cantik (hehe), tapi berat hati saya untuk mengatakan bahwa ajang ini bermanfaat bagi banyak orang, nusa dan bangsa (kecuali bagi yang senang melihat parade wanita cantik berpakaian minim). Dulu saya sempat bertanya-tanya mengapa pemerintah Indonesia tidak pernah secara resmi mensupport puteri-puterinya untuk tampil dalam ajang seperti ini (paling banter menteri pariwisata), dan saya sendiri tidak terlalu tertarik untuk mengatasnamakan budaya dan adat ketimuran yang berlawanan dengan kontes ratu kecantikan. Bagi saya ini tidak sepenuhnya berkaitan dengan budaya barat vs timur, karena banyak kalangan di masyarakat barat yang juga tidak setuju dengan ajang ini.

Saya tidak akan merunut alasan dari sisi agama, saya sendiri masih harus banyak belajar tentang agama yang saya anut. Pertimbangan saya lebih mengacu pada substansi tujuan, proses, penilaian, dan hasil ajang kontes ratu kecantikan.

Nilai kecantikan dalam kontes pada umumnya merupakan tolok ukur wajib. Meskipun cantik itu sendiri sebenarnya juga relatif, kontes kecantikan menggunakan ukuran absolut. Alhasil, kontes kecantikan membentuk standar kecantikan di sekitar kita. Namun sebenarnya bukan ini yang menjadi keprihatinan saya, karena bagaimanapun ukuran kualitas (bila kecantikan merupakan kualitas bukan kuantitas) memang terdiri atas dua, yakni relatif dan absolut. Tidak ada alasan bagi saya untuk memusuhi yang cantik. Jika ada orang yang cantik tentu bukan "salahnya" menjadi cantik, demikian juga bagi yang kurang (tidak cantik seperti saya hehe).

Perhatian saya lebih kepada penggunaan embel-embel "brain" and "behavior". Tentu penjurian menggunakan proporsi yang tidak sama antara beauty, brain dan behavior masing-masing peserta. Kalau sama, saya yakin yang bisa masuk dalam ajang ini bukan hanya yang bertubuh langsing dan berwajah simetris, namun juga yang sebaliknya asalkan memiliki otak dan perilaku yang di atas rata-rata. Jadi, jelas memang kontes-kontes ini tidak lebih dari menilai kecantikan. Sisanya hanya menjadi aksesoris, seperti layaknya bila saya tidak suka sayuran namun terpaksa mengambil menu sayuran sebagai lauk pauk saya karena takut dikatakan tidak menyukai makanan sehat. Padahal menu sayuran yang saya ambil kelak juga akan saya buang, atau bila pun saya makan porsinya hanya sedikit.

Hal lain yang "mengganggu" saya adalah tentang tujuan dari kontes ini. Katakanlah sebagai duta wisata, apa benar ada signifikansi hasil pagelaran ini terhadap jumlah turis yang datang. Kenyataan bahwa kebanyakan outcome kontes kecantikan menjadi artis tentu sebuah kesimpulan yang dapat diambil sendiri. bukan saya mengatakan menjadi artis bukanlah sebagai pekerjaan yang sembarangan, namun gaya hidup glamor menjadi pandangan yang tak terbantahkan, dan kebanyakan kontes ini memang menjembatani mereka untuk bekerja di dunia entertainment. Berbicara tentang dunia entertainment, sebenarnya tidak sulit melacak tingkat intelegensi setiap alumni kontes ratu kecantikan karena banyak diantara mereka yang tampil di layar kaca kita setiap hari. Singkatnya, bagi saya "aksesoris" lainnya sebagai duta wisata juga tidak menjadi alasan kuat bagi eksistensi kontes semacam ini.

Ada lagi hal yang menurut saya konyol. Kebanyakan kontes kecantikan lebih menghargai "gift" ketimbang "achievement", bukan hanya menyangkut masalah fisik namun salah satu diantaranya perihal kemampuan bahasa asing. Masyarakat Indonesia kebanyakan terkagum-kagum pada mereka yang fasih berbahasa Inggris. Tentu kemampuan bahasa asing sangat penting sekali apalagi kalau dihubungkan dengan pencitraan si pemenang nantinya sebagai duta wisata, namun konyolnya ajang ini justru melalaikan kemampuan bahasa Indonesia si pemenang. Lebih parahnya lagi, biasanya mereka yang fasih berbahasa asing memiliki wajah campuran Indonesia dan kebule-bulean dan bahasa Indonesianya patah-patah alias tidak karuan. Jelas saja yang bertampang indo bahasa asingnya lebih lancar ketimbang yang berwajah murni Indonesia, karena sedari kecil mereka tumbuh dalam pengasuhan dengan dua atau multi bahasa. Jadi apa yang mau dikagumi dari peserta yang berwajah indo dan fasih berbahasa asing?

Ada beberapa kalangan yang berpengalaman menangani kontes ratu kecantikan bersaksi bahwa nuansa kompetisi sangat kuat. Kuatnya kompetisi bisa berarti baik, namun juga sebaliknya. Bukan sekali dua kali saya mendengar bahwa dalam ajang kecantikan ini pun masih berlaku KKN dan suap. Kritik ini tidak dapat dianalogikan dengan membubarkan kompetisi sepakbola karena terlalu banyak mengundang kerusuhan, karena sepakbola sesungguhnya bernilai netral. Ajang kompetisi ratu kecantikan tidak sama dengan sepakbola yang jelas-jelas menjunjung nilai luhur memelihara jasmani dan sportivitas. Kontes ratu kecantikan bagi saya banyak bersinggungan dengan nilai belief, etis dan estetika yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat, sehingga wajar eksistensinya terus diperdebatkan.

Jadi teringat, beberapa tahun yang lalu saya sempat menyaksikan pemilihan kontes ratu kecantikan di Indonesia maupun sejagat. Jawaban yang diberikan kontestan terhadap pertanyaan dari para juri kadang-kadang mengusik saya, terutama bila saya menemukan kontestan yang mampu menjawab dengan baik justru tidak keluar sebagai pemenang. Tentu ini tidak salah, karena konsep kontes ini adalah kecantikan fisik.

Sabtu, 02 Mei 2009

MUDA, GIGIH, DAN KAYA HATI


Mungkin saya terlalu banyak membaca chicken soup, atau buku-buku sejenis lainnya yang mengharu biru mengenai kisah kehidupan dan bagaimana cara menghargainya. Dua hari ini saya merasa feel "nothing" setelah sadar betapa salah satu adik saya telah melampaui fase "hirarki kebutuhan maslow" jauh.. jauh melebihi saya yang mungkin masih terlalu banyak di tingkat rendah teori kebutuhan maslow.

Kami dulu seperti anjing dan kucing, begitu Ibu saya biasa menyebut betapa kami selalu bertengkar satu sama lain. Pertengkaran yang mungkin juga banyak ditemui di tengah-tengah hubungan kakak-adik di keluarga lain, seperti rebutan makanan (haha), rebutan mainan, sampai saling mengejek bentuk muka dan bentuk kuping (haha lagi).

Tapi pertengkaran lucu dan kadang menyebalkan itu semakin tidak saya rasakan begitu saya harus pindah ke luar kota dan semakin jarang bertemu dia. Terus terang sering kangen juga. Sayang begitu kami bertemu tidak terlalu banyak waktu dapat kami luangkan mengingat dia seorang anak muda yang cukup punya banyak kesibukan (selain sibuk tidur hehe). Persaudaraan kami pun semakin memiliki warna setelah kehadiran si bungsu yang sungguh tidak diduga-duga kehadirannya (haha).

Dulu, setiap saya bertengkar dengan adik pertama ini, Ayah pasti menasehati saya bahwa suatu saat nanti saya dan adik saya akan bahu membahu alias tolong menolong. Kata Ayah, kelak dia akan menjadi pelindung saya. Haha waktu itu saya memaknai kata-kata Ayah hanya secara harfiah "pelindung? memangnya nanti dia bisa melindungi saya kalau saya dirampok?" Itu pasti yang ada di benak saya setiap kali nasehat Ayah meluncur. Namun sungguh, kini saya merasa demikian. Banyak hal besar sampai kecil yang sudah dilakukan adik terhadap saya, haha apa sih yang dilakukan orang yang tidak bisa menyupir mobil? Ya minta disupiri kan? Waktu kelaparan malam-malam, siapa yang mau membelikan saya makanan favorit, bahkan pacar pun belum tentu mau. Beli tiket bus juga dia yang melakukannya.

Satu hal yang sangat saya paham sedari kecil, adik lelaki saya ini punya keterampilan sosial yang jauh lebih menonjol daripada saya. Prestasi belajarnya sih biasa-biasa saja bahkan boleh dikata di bawah saya, namun saya tidak pernah bisa melampaui pencapaiannya dalam hal kehidupan sosial. Dia merupakan siswa yang populer di sekolah. Kehidupan organisasinya sangat baik, bahkan dia pernah meledek saya menyangkut tidak populernya saya di sekolah. Maklum, kami sekolah di SMA yang sama meskipun ketika dia masuk di sekolah tersebut saya sudah masuk universitas. Dia berupaya tahu juga ternyata apakah sister-nya masuk golongan anak populer dengan bertanya pada beberapa pihak di sekolah, haha hasilnya saya cuma populer di bidang akademik.

Kadang saya berupaya mencari darimana dia memperoleh bakat keterampilan sosial yang baik. Dia cenderung mudah disukai dan menjadi pemimpin dari dulu, haha mulai dari geng bocah-bocah di perumahan kami, teman-temannya di sekolah, sampai rekan-rekan sekantornya. Bahkan tetangga kami memuji-muji dia karena sikapnya yang ramah dan sopan (uhhhh berarti saya sebaliknya dong haha).

Bukan hanya itu perbedaan kami yang menonjol, adik saya memiliki jiwa kewirausahaan yang sudah muncul dari dia kecil. Haha.. masih ingat betapa dia diomeli orangtua saya karena melakukan ojek payung dekat rumah... haduh tertawa sampai guling-guling saya kalau ingat peristiwa itu. Walaupun orangtua kami tidak pernah kesulitan memberi ia uang saku, namun ia selalu berupaya menambah income-nya. Satu hal yang menurut saya mengawali perbedaan diantara kami menyangkut kewirausahaan adalah karena Adik saya tidak khawatir menempuh resiko. Sekarang dengan usaha kecil-kecilannya dia mampu memberi untuk orang lain penghidupan meskipun seadanya, tentu....... dengan pencapaian ini saya merasa tidak ada apa-apanya.

Jauh daripada persoalan harta benda, adik saya sudah menggagas kelompok sosial yang berupaya membantu mereka yang masih kekurangan. Mengetahui hal ini saya betul-betul merasa "kecil", sejauh ini saya hanya melakukan hal-hal sosial secara ikut-ikutan dan lebih banyak dalam bentuk materi. Betapa berbeda peran kami berdua, saya sebagai pengikut dan dia sebagai pemimpin. Jadi ingat, beberapa waktu yang lalu saya pernah bersumpah pada diri saya sendiri untuk tidak menjadi pemimpin mengingat tanggungjawab yang begitu besar (karena saya terlalu terobsesi untuk menyenangkan semua orang, dan tidak tahan kalau ada yang protes kebijakan saya).

Sebelum adik saya kaya raya (amin) saya sudah bangga dengan keberadaannya, bahkan sebelum dia menjadi manusia dewasa yang "settled" secara apapun dia sudah menunjukkan entitasnya sebagai manusia yang unggul dan tidak egois. Klise rasanya perkataan yang berbunyi "kaya hati", namun kini saya benar-benar merasakannya terhadap adik saya. Dia bisa begitu berarti di mata orang lain dengan segala keterbatasannya, dan tentu saya bangga terhadapnya. Lebih bangga lagi terhadap kedua orangtua kami yang mampu menumbuhkan bibit subur "kekayaan hati" terhadapnya. Ungkapan Ayah kami tentang kelak dia akan menjadi pelindung saya sudah terbukti, mungkin adik saya-lah yang menyelamatkan saya dari "perampokan hati" hehehe.

Sabtu, 25 April 2009

FILM DOKUMENTER PERTARUHAN; SELEBRASI HARI KARTINI


Assalammualaikum!!!

Baru saja saya menyaksikan rangkaian film dokumenter berjudul Pertaruhan yang ditayangkan di Metro Tv. Terharu, itu perasaan yang paling menyeruak di benak saya. Semua film dokumenter tersebut memang berbicara tentang wanita. Hari Kartini yang baru berlalu beberapa hari kemarin memang perlu "dirayakan" tidak secara normatif seperti lomba memasak, lomba merangkai bunga, atau yang paling jadul lomba kebaya.

Film pertama menyajikan tentang perjuangan TKW di Hongkong, kedua adalah tentang khitan pada wanita, ketiga yakni pelayanan kesehatan reproduksi wanita yang diskriminatif, serta terakhir perjuangan hidup PSK di daerah sekitar Jawa Timur.

Cerita yang disajikan pada film tersebut memang bagian dari kehidupan wanita Indonesia yang jarang atau bahkan masih tabu dibicarakan. Ada TKW yang harus dioperasi melalui alat kelaminnya karena terserang miom namun oleh kekasihnya justru dicurigai sudah tidak perawan lagi. Di sisi lain, seorang TKW lainnya merasakan kasih sayang dari pasangan sejenis dilatarbelakangi rasa sakit hatinya terhadap mantan suami. Pada film kedua mengisahkan kenyataan tradisi dan keyakinan beberapa komunitas yang mewajibkan sunat bagi anak wanita. Khitan bagi wanita "diharamkan" oleh Departemen Kesehatan, namun demikian masih banyak kalangan khususnya dari komunitas muslim di Indramayu yang mengatakan hal tersebut sebagai kewajiban. Konon nafsu wanita lebih besar ketimbang pria, dan untuk itu wanita harus disunat. Tentu saja ini berlawanan dengan fakta medis. Pertimbangan-pertimbangan dengan dalih religi dan mitos ternyata sangat tidak mendasar.

Kisah ketiga merupakan hal yang benar-benar unik menurut saya, dan terus terang saya baru tahu akan hal ini. Pelayanan pemeriksaan alat reproduksi wanita di Indonesia ternyata sangat bersikap "banci". Contoh nyata yang dibuktikan dalam film dokumenter ini adalah bagaimana sulitnya perempuan lajang memperoleh akses salah satu pemeriksaan alat reproduksi kewanitaannya yakni pap smear. Di tiga rumah sakit yang didatangi aktris film tersebut, seorang wanita harus berstatus sebagai nyonya terlebih dahulu bila akan diperiksa dengan metode pap smear. Kalaupun pasien wanita lajang tadi berhasil melewati komentar-komentar perawat atau petugas di bagian pendaftaran, maka ia harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan dokter yang jauh dari esensi pemeriksaan pap smear itu sendiri. Bayangkan saja, ada pertanyaan seperti ini "kamu lajang, orang tuamu tahu kamu periksa pap smear?", atau sampai ada yang mendoakan pasiennya dengan doa Bapa Kami karena si pasien tersebut mengaku lajang tapi aktif secara seksual. Jadi, tips bagi wanita lajang di Indonesia yang mau memeriksakan kesehatan alat reproduksinya adalah lebih baik mengaku saja sebagai Nyonya ketimbang jujur menyatakan dirinya Nona. Lucunya, sekitar tahun 2005 saya pernah memeriksakan sakit demam pada salah satu rumah sakit swasta di Kota Yogyakarta dan baru sadar pada kartu pendaftaran tertulis disana bahwa saya Ny. Padahal, saya masih ingat sekali waktu itu saya mengulang kata Nona sampai tiga kali pada si resepsionis. Mungkin status Nyonya lebih disukai ya.. hehe. Terlepas dari kasus kesalahan pengetikan status saya, kultur masyarakat kita memang masih menganggap tabu persoalan kesehatan alat reproduksi pada wanita berstatus lajang. Seorang anak wanita yang baru mengalami pubertas pun belum tentu dibekali pengetahuan yang cukup dari orangtua maupun sekolahnya. Akibatnya mereka mencari informasi sendiri atau bertanya pada teman dengan hasil jawaban yang mungkin saja salah-salah justru jauh dari benar.

Adapun kisah keempat dari film dokumenter ini yaitu tentang pekerja seks komersil (PSK) di daerah Jawa Timur. Lokasi mereka bekerja adalah pekuburan Cina, dan selain sebagai PSK di siang hari mereka bekerja sebagai penumbuk batu. Ada dua wanita yang menjadi sentral film keempat, yakni N dan M. N memiliki dua orang anak masih berusia TK dan pra TK, sedangkan M tidak memiliki anak namun memiliki teman lelaki yang kumpul dengannya serumah. Saya harus mengakui air mata saya mengalir deras pada giliran film keempat ini. Bagaimana tidak, perempuan-perempuan ini dimanfaatkan oleh preman-preman tengil disekitarnya, belum lagi mereka tidak mampu dan kurang peduli akan kesehatannya. Mungkin agak klise kalau harus diceritakan bagaimana pergumulan mereka dalam melawan kemiskinan dan ketidaksehatan, namun itu memang nyata dan kita tidak dapat menutup mata. Aksi patroli di lokasi pekuburan Cina itu pun kemudian menjadi paradoks yang menggelikan.

Terlintas di pikiran saya, dalam pandangan kristiani, mungkin inilah mengapa Isa Almasih dalam kisahnya di Bible salah satunya memunculkan seorang wanita bernama Maria Magdalena selaku PSK yang ingin bertobat. Isa Almasih tidak menghukumnya, namun memberi pengampunan. Masyarakat kita termasuk pemerintah hendaknya juga demikian, pembinaan terhadap para PSK (tidak hanya PSK wanita lho) hendaknya dilakukan dengan sungguh-sungguh. Setiap orang pasti pernah berbuat salah, dan jika pun wanita-wanita ini mengalami kesalahan yang perlu dilakukan kita bukanlah menghakimi tetapi pada bagaimana menyikapi agar mereka tidak lagi melakukan "kesalahan" yang sama. Saya sebenarnya tidak terlalu nyaman mengucapkan kata "salah", karena bagi saya fungsi manusia terhadap sesama dalam konteks ini bukanlah menghakimi, lain halnya kalau saya ditanyakan apakah perbuatan tersebut salah dalam pandangan agama. Tindakan saya ini bukan berarti "menghalalkan" yang salah lho teman, namun lebih menjadikan "kesalahan" sebagai media pembelajaran dalam kehidupan.

Ahhh, saya jadi teringat waktu beberapa orang teman "menyalahkan" teman lainnya karena ada pergeseran nilai dan norma pada diri orang lain menurut pandangan agama kami. Menurut saya mengapa kita tidak lebih mengambil putusan tentang apa yang harus dilakukan setelahnya, ketimbang memutuskan "benar" atau "salah"nya tindakan dan sikap seseorang. Setiap tindakan pasti membawa konsekuensi dan itu yang pantas direnungkan ketimbang kembali menghakimi kesalahan orang lain.

Buat yang belum menonton rangkain film dokumenter berjudul "Pertaruhan" ini, saya sangat sarankan menyempatkan diri menontonnya, baik wanita maupun pria. Sayang saya belum tahu kapan film ini akan ditayangkan ulang oleh Metro TV. Hidup wanita Indonesia... mulai dari yang muda sampai yang tua, dari yang miskin sampai yang kaya, yang belum berdaya sampai yang belum berdaya, dan dari yang ustadzah sampai yang (masih) menjadi PSK. /^_^\

Sabtu, 21 Maret 2009

Menjawab Keluhan Teman


Pernah tidak, waktu anda mau menyikat gigi, asyik-asyik memencet tube pasta gigi tiba-tiba isinya malah terpencet begitu saja sehingga bukannya terletak pada sikat gigi anda, justru jatuh ke wastafel atau ke lantai??? Apa yang biasanya anda lakukan, mencomot cairan pasta gigi itu kembali dengan sikat gigi anda, atau anda membuangnya begitu saja dengan alasan higienitas atau lain sebagainya???

Dalam kehidupan kita biasa dihadapkan dengan metamorfosa seperti itu, kita merasa mendapat sesuatu yang bukan seperti kita harapkan, atau alih-alih memperoleh yang terbaik kita merasa mendapat yang nomor 2, 3 dan berikutnya. Ingin kuliah di perguruan tinggi negeri bergengsi, tapi malah diterima di perguruan tinggi swasta, atau yang paling sering saya jumpai cerita-cerita tentang kehidupan perkawinan yang menurut teman saya, kadang menikah itu seperti "be happy to feel unhappyness".

Meskipun pasta gigi itu sudah menyentuh wastafel atau bahkan lantai, kadang kita merasa masih dapat memanfaatkannya. Ada sebagian dari pasta gigi itu mungkin yang masih bisa kita gunakan, dan sebagian lain harus kita siram. Tentu itu tergantung pada pilihan kita semua, memakai, memakai sebagian, atau membuang semuanya. Sama seperti apa yang kita peroleh dalam hidup ini. Ada yang tetap bertahan dan tak berpindah ke lain hati meskipun pasangan hidupnya bukan sosok yang benar-benar ia cintai atau seorang mahasiswa memutuskan pindah program studi karena merasa tidak cocok dengan kajian ilmunya. Setiap pilihan mengandung konsekuensi, dan jangan biarkan diri kita tenggelam dalam menyalahkan orang lain atas pilihan yang ia buat atau sekalipun pilihan kita pribadi.

Berbicara tentang salah-menyalahkan, terkadang kita mengeluh hidup ini tidak adil dan kita menyalahkan orang lain atau diri sendiri, padahal ada banyak hal yang tidak dapat dijelaskan dalam kehidupan kita. Konon, misteri kehidupan itu 99%, sedangkan kenyataan yang bisa kita ungkap cuma 1%.

Mengutip dari "My Blueberry Nighst", sebuah toko kue dan roti menjual beraneka pilihan. Toko tersebut menyediakan roti strawberry, blueberry, coklat, keju, dan lain sebagainya. Roti blueberry ternyata memiliki penggemar paling sedikit dibanding roti-roti lainnya. Walhasil, roti yang paling banyak tersisa di toko tersebut adalah yang berisikan blueberry. Pertanyaannya, apakah roti blueberry itu bersalah atas kurang lakunya ia dijual di toko tersebut? Atau pantaskah kita menyalahkan pelanggan toko yang lebih suka roti isi jenis lainnya? Adilkah juga kita menyalahkan roti-roti isi jenis lainnya karena menjadi saingan roti blueberry? Atau kita ingin menyalahkan toko roti mengapa ia tetap menjual roti isi blueberry? Hmm... saya tidak melihat ada yang salah di sini. Bagi saya hal itu laksana sebuah keadaan yang menunggu penyikapan dari para pelakonnya, bukan menanti pernyataan saling lempar kesalahan.

Kamis, 12 Maret 2009

DARK MATTER


Sebuah film berjudul "Dark Matter" baru saja membuat saya terperangah. Film berlatar belakang kehidupan mahasiswa asing di Amerika Serikat ini sangat saya rekomendasikan untuk ditonton. Mungkin kawan-kawan ada yang pernah mendengar teori Fisika "Dark Matter" atau "Materi Gelap", tapi sungguh film ini bukan bertujuan menjelaskan fenomena Dark Matter, melainkan fenomena yang melekat pada pekerjaan dosen. Kisah yang disuguhkan "Dark Matter" terinspirasi oleh kejadian nyata di University of Iowa pada 1 Nopember 1999. Seorang mahasiswa asing asal Cina bernama Gang Lu melakukan penembakan terhadap lima orang, yang tiga diantaranya adalah profesornya. Mahasiswa S3 jurusan Fisika dan Astronomi ini ditengarai nekad melakukan hal tersebut lantaran frustrasi akan kegagalan disertasinya. Hingga sekarang, University of Iowa belum membuka kesempatan lagi untuk mahasiswa asal RRC.

Versi yang banyak dimuat di Amerika sepertinya lebih banyak menyudutkan Gang Lu. Film "Dark Matter" memang tidak betul-betul menyajikan kisah nyata keberadaan Gang Lu, namun layak menjadi bahan renungan khususnya bagi kalangan akademisi. Dalam film yang dimainkan utamanya oleh Ye liu (sebagai Liu Xing), Merryl Streep (sebagai Joana) dan Aidan Quinn (Sebagai Prof. Jack Reiser) ini, diungkapkan bagaimana seorang mahasiswa yang begitu jenius memiliki masalah dengan pembimbingnya. Jack Reiser yang berperan sebagai supervisor memiliki kesamaan posisi dan situasi dengan Prof. Dwigh Nicholson (Prof. Fisika dan astronomi di Univ. of Iowa). Profesor ini tewas ditembak oleh Liu Xing - mahasiswanya sendiri, padahal ia berperan sebagai pemrakarsa untuk mengundang mahasiswa-mahasiswa dari RRC yang diakui memiliki kecerdasan luar biasa.

Liu Xing pada awalnya sangat memuja Prof. Reiser, ia dipekerjakan sebagai asistennya. Prof Reiser pandai memanfaatkan kemampuan mahasiswa dari RRC, semua asistennya berasal dari negeri tirai bambu tersebut. Selama Liu Xing bekerja dan belajar, kepandaian Liu Xing tidak dapat dielakkan oleh Prof Reiser. Belakangan Prof muda ini justru merasa terancam dengan kebrilyanan pemikiran Liu Xing. Hal ini berakibat pada tidak disetujuinya proposal-proposal disertasi yang diajukan Liu Xing. Kalaupun pada akhirnya Prof Reiser mau menyetujui, Liu Xing "dibantai" pada saat ujian disertasi sehingga ia pun gagal meraih Ph.D-nya. Selain itu Liu Xing juga memiliki saingan yang sama-sama berasal dari RRC dan menjadi asisten Prof Reiser. Untuk lebih jelasnya kawan-kawan bisa menonton sendiri film yang meraih penghargaan pada Sundance Film Festival sebagai film yang berkaitan dengan Sains dan teknologi ini.

Ada beberapa poin menarik dari film tersebut yang layak menjadi topik diskusi terutama mengenai hubungan antara pembimbing penelitian dengan mahasiswanya. Saya memang belum pernah menjadi pembimbing penelitian namun saya sering mengamati proses yang berjalan karena saya pernah dan masih menjadi mahasiswa sekaligus memiliki kolega-kolega yang berperan sebagai pembimbing. Hal menonjol yang paling sering saya jumpai adalah dosen tidak mau atau mampu menghargai ide mahasiswa. Dalam kasus Prof. Reiser hal ini terjadi karena dosen merasa terancam karena kejeniusan mahasiswanya, namun dalam banyak temuan yang saya lihat di sekitar saya banyak dosen yang meremehkan mahasiswanya. Akibatnya, permasalahan penelitian justru menjadi lebih rendah signifikansinya karena kekhawatiran Dosen sendiri mengenai kemampuan anak didiknya.

Hal kedua yang aneh dalam kasus pembimbingan, terkadang mahasiswa dibiarkan terperosok terlalu jauh. Baru ketika ujian berlangsung, Pembimbing sendiri "menjatuhkan" laporan penelitian mahasiswanya. Mungkin saja ketika dalam proses pembimbingan si Dosen tidak begitu cermat, namun jangan sampai ketidakcermatan tersebut sampai membuat mahasiswa harus mengubah terlalu banyak laporannya hingga menyentuh esensi penelitian. Dalam kasus ini jangan-jangan bukan tentang ketidakcermatan melainkan memang sengaja tidak cermat, atau tidak mampu menjalankan fungsi pembimbingnya secara baik.

Poin ketiga adalah tentang besarnya tekanan kepada mahasiswa untuk cepat lulus dengan nilai yang baik. Terlebih kalau ia selama ini diakui sebagai sosok yang pintar, dengan sendirinya tuntutan keluarga pun akan sangat tinggi. Tentu saja ini akan sangat berpengaruh pada ketahanan mental mahasiswa dalam proses penulisan penelitiannya. Ini menjadi PR besar utamanya bagi para orangtua, guru/dosen, petugas konselor atau psikolog pendidikan dalam memberikan dorongan dan harapan yang cukup, jangan berlebihan.

Menyaksikan film "Dark Matter" membuat ingatan saya terlintas pada kasus yang masih cukup hangat dibicarakan, yakni tragedi Nanyang Technology Univ. yang berkaitan dengan David, mahasiswa asal Indonesia. Kasus ini memang belum terkuak secara pasti sebab musababnya, tapi saya berharap kebenaran segera terungkap. Kasus lain di lingkungan kampus yang juga pernah mengundang perhatian adalah penembakan oleh Cho Seung Hui yang menewaskan 32 orang sekaligus ia sendiri pada April 2007 di Virginia Tech Univ. Sebagai salah satu unsur dalam perguruan tinggi, semoga dosen dapat terus "berdamai" dengan mahasiswanya, sehingga tidak ada lagi Gang Lu lain, David lain, dan Cho Seung Hui lainnya.



Rabu, 04 Maret 2009

That's What Friends are For




Dalam berteman pasti kita semua punya selera. Berteman layaknya memilih makanan, kita akan cenderung memilih yang kita suka. Padahal, selayaknya makanan, tidak semua orang cocok atau sesuai dengan apa yang ada di pikiran kita. Namun demikian, lagi-lagi sama halnya dengan makanan, kadang ada orang yang tidak kita sukai, padahal kita tahu bila kita berteman dengan dia akan berdampak baik bagi kita, begitupun sebaliknya.

Tentu saja pertemanan bukan semata bicara tentang kita, namun juga menyangkut pihak lain. Namun menurut pengamatan saya pribadi, kita cenderung akan terus dekat dengan seorang teman bilamana kita nyaman berada di samping dia. Sepintar apapun dia, sebaik apapun dia, selucu apapun dia, atau seramah apapun dia kalau kita tidak merasa nyaman maka cenderung pertemanan itu akan terhenti.

Kenapa sih saya bicara tentang "teman"? Seminggu ini saya memperoleh banyak sekali "penyegaran" tentang pertemanan. Teman-teman lama dan baru mewarnai hidup saya, ada yang offering help tanpa diminta dan ada yang memotivasi tanpa disuruh. Terus lainnya ada yang menjadi media jiwa indigo saya (hahaha), ada lagi yang tahu-tahu muncul setelah lama menghilang, ada yang ngajak debat tentang Bible vs Qur'an, terus ada yang punya kabar gembira tapi diam saja (hihihi),dan ada juga yang punya baby (total bulan kemarin sekitar 5 pasangan...panen nih). Bukan hanya itu,ada yang memberi informasi berlimpah, ada yang berkeluh kesah tentang laporan yang belum juga selesai (hohoho), ada yang kasih resep hidup sehat, sampai ada yang ngamuk-ngamuk gak jelas dan harus saya rayu. Woooaaaahhhh pokoknya banyak deh. Termasuk teman VIP-ku yang mulai bisa menikmati wedhang rondhe di Malioboro (dulu sih mana mau nongkrong di pinggir jalan).

Saudara-saudaraku, dalam kesempatan kali ini saya akan menyampaikan terimakasih tak terhingga atas support dan hinaan yang diberikan kepada diriku (hahaha), percayalah tanpa dukungan atau celaan kalian, akan sulit bagi saya belajar menjadi sosok yang lebih baik. Untuk teman-teman buleku "tercinta" tetaplah menjadi "Yahoo Guy" (Wakakak), don't cha ever be a friend in benefits (dang.....who do this???).

Sabtu, 14 Februari 2009

SHOES POLITIC

I love shoes. Kalau sudah berada di toko sepatu, saya lupa segalanya. Tapi ngomong-ngomong sudah dengar kabar tentang akan diterbitkannya Juknis atau semacam Inpres tentang kewajiban penggunaan sepatu buatan dalam negeri di kalangan PNS?

Selama ini saya tidak pernah mempersoalkan sepatu dari sisi produsennya, namun lebih pada kenyamanan, model, dan tentu saja soal harga yang penting juga terjangkau. Selama ini sih saya setuju dengan Carrie Bradshaw-nya Sex and The City, semakin mahal sepatu semakin nyaman juga itu sepatu. Kalau bicara awet atau tidaknya sih tergantung pemakaian dan perawatan. Oh ya bicara tentang perawatan, sejauh pengamatan saya justru sepatu yang lebih mahal cenderung lebih rentan ketimbang sepatu yang berharga rendah. Artinya, sepatu dengan harga tinggi lebih memerlukan perawatan khusus daripada sepatu dengan harga rendah. Tapi itu cuma pengalaman saya lho.

Kembali ke persoalan rancangan peraturan yang isinya kelak mewajibkan kalangan PNS menggunakan sepatu merk lokal, ada beberapa poin yang menurut saya menarik. Poin pertama adalah tentu kebijakan ini akan menguntungkan pengrajin sepatu lokal. Bayangkan, jumlah PNS sekarang sudah sampai menginjak angka lebih dari tiga juta, jadi pelanggan dari kalangan PNS sendiri sudah merupakan pasar yang cukup besar. Jadi pada prinsipnya saya setuju sekali dengan kebijakan ini.

Poin kedua yang menjadi perhatian saya adalah tentang filosofi apa yang melatarbelakangi kebijakan ini. Kalau sekedar pragmatis yakni menyelamatkan bangsa ini dari invansi produk China dan negara lainnya, kenapa harus ditujukan pada PNS? Dengan tingkat penghasilan yang sudah menjadi rahasia umum, rasanya PNS yang bisa membeli sepatu import tidak sampai 25%. Kenapa kebijakan tentang sepatu lokal ini tidak melibatkan siswa sekolah? Selain itu apakah orang-orang pada jabatan politis nantinya juga dimasukan sebagai kategori yang diwajibkan (contoh: walikota, anggota DPR, menteri)?

Mengintip dari detiknews dan blog-blog lain, diperkirakan bentuk kebijakannya adalah dengan memberikan sepatu kepada setiap PNS dengan kisaran harga yang ditentukan. Mmmmm, isunya bisa melebar ke kedisiplinan atau kesejahteraan. Lalu berimbas juga ke perihal proyeknisasi. Kalau Pemda Mojokerto sih sudah merintis hal ini lebih awal. Maklum saja, daerah ini memang terkenal sebagai penghasil sepatu. Bagus juga sih, tapi apakah hal yang sama diterapkan kepada siswa saya belum googling. Bagaimanapun, menurut saya pelajar adalah sasaran yang strategis kalau tujuan kebijakan adalah menumbuhkan kecintaan pada produk dalam negeri. Landasan kesejahteraan malah justru lebih mengena bila pembagian sepatu diberlakukan di kalangan PNS.

Poin ketiga yang perlu ditelisik, istilah "mewajibkan" berarti ada reward dan punishment dong. Poin keempat, bagaimana cara pemerintah tahu apakah si A pakai sepatu buatan lokal atau import, mau dicek satu persatu? Poin kelima, adalah kurangnya pengetahuan kita sendiri tentang produk-produk sepatu buatan dalam negeri. Hal ini berkaitan dengan penggunaan nama-nama merk sepatu yang berbau asing padahal sebenarnya lokal, sebut saja Piero. Salah-salah karena kebijakan ini malah sebaliknya yang terjadi, yakni dirugikannya produsen lokal karena ketidaktahuan pelanggan he3. Maklum, produsen Indonesia masih kurang pede menggunakan nama yang berbau lokal. Jadi ya, ada tuh beberapa merk yang sepertinya nasional eh malah buatan luar negeri, atau sebaliknya. Bingung kan?

Tetapi tentu saya setuju dengan arah kebijakan pemerintah ini, namun kalau bentuknya saya kurang setuju. Istilah mewajibkan bisa kan diganti dengan "menghimbau"? Kemudian kalau berujung pada bagi-bagi sepatu saya kurang setuju. Masalahnya akan menjadi pelik sekali. Apa yang menjadi kriteria sebuah sepatu dijadikan pakem bagi semua jenis pekerjaan dalam PNS? Model sepatu A mungkin sesuai dengan kebutuhan pegawai di divisi A, namun tidak demikian halnya dengan mereka yang ada di divisi B.

Daripada repot mengurusi soal model sepatu yang hendak dijadikan seragam, lebih baik berpikir tentang pemberian kesejahteraan dalam bentuk lainnya. Kalaupun PNS hendak dibagi-bagi sepatu, jangan dilakukan sebelum pemilu, salah-salah jadi SHOES POLITIC.

Jumat, 13 Februari 2009

PONARI PUTERA PETIR


Belakangan ini berita tentang "dukun cilik" merebak di sejumlah pemberitaan media massa. Sedikit terlambat, saya ingin ikut-ikutan mengkomentari fenomena ini.

Saya tidak mau buru-buru menganggap apa yang dilakukan sejumlah pasien Ponari sebagai hal yang musyrik. Hari gini, ada pengobatan murah, cepat, dan gak pakai sakit....pasti kebanyakan kita tergoda mau tahu jenis pengobatan seperti apa sih ini. Saya berasumsi tidak semua pasien Ponari yang datang menganggap batu itu sebagai penentu kesembuhan, saya menyimpan harapan sebagian dari mereka memandang batu ajaib itu sebagai obat. Ya, obat...kawan ingat kan kalau sedang sakit jika ingin sembuh ya minum obat? Meskipun obat dapat meringankan atau menghilangkan rasa sakit, saya yakin kawan-kawan berdoa bukan pada obat, melainkan pada Tuhan agar menyembuhkan sakit. Jadi jangan langsung menuduh saudara-saudara kita di Jombang dan sekitarnya sebagai orang musryik ya, kasihan mereka. Nanti yang rebutan air zam zam bisa dicap syirik juga dong?

Sebenarnya apa yang istimewa dengan batu Ponari? Kawan sebagian besar mungkin sudah tahu, atau bisa melihat di pemberitaan kalau ingin tahu lebih jelas. Saya pribadi tidak merasa ada yang istimewa, karena sebenarnya terlepas benar atau tidak pengobatan alternatif di sekeliling kita juga menyisakan banyak pertanyaan.

Cerita agak sedikit seram pernah saya dengar dari teman saya sendiri yang punya penyakit dalam cukup akut di organ yang sangat vital bagi kehidupan. Teman saya ini enggan operasi dan memilih mendatangi paranormal (u can say dukun or whatever deh, tapi si Bapak ini gak mau dipanggil demikian hihihi). Melalui operasi yang tidak masuk akal kalau dipikir secara logika, teman saya ini menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana tubuhnya dibedah, dan dijahit kembali oleh si paranormal. Kesembuhan pun terjadi. Dokter langganan bahkan terkejut mengetahui keadaan tubuh teman saya yang healing begitu cepat dan signifikan. Namun enam tahun kemudian sesuatu terjadi...

Suatu hari teman saya ini mengalami kelelahan, dan akhirnya terpaksa dilarikan ke rumah sakit. Dari hasil observasi oleh dokter, ditemukan bahwa teman saya mengalami komplikasi penyakit yang mengkhawatirkan, satu penyakit yang dulu, dan dua penyakit tambahan. Atas pengalaman salah seorang teman lainnya, ia pergi menuju pengobatan alternatif lain. Ya, lagi-lagi alternatif karena ia takut dengan pengobatan medis (kalau sudah takut ya susah sembuhnya karena pengaruh sugesti juga kuat lho terhadap kesembuhan).

Tabib di pengobatan alternatif lain yang ia kunjungi mengatakan sesuatu yang membuat merinding bulu kuduk saya. Kata si tabib ini, teman saya bisa menjadi pengikut setan karena bagian organ tubuhnya sudah ditempati oleh Khodam (jangan tanya definisi khodam deh, mungkin mirip-mirip jin perewangan). Menurut pak tabib, jika tubuh kita ditempati khodam maka batin pun tidak tenang, mudah marah dan gelisah. Keberadaan khodam tidak menghilangkan penyakit, malah justru akan mengakibatkan pertambahan penyakit baru.

Tentu saja teman saya shock mendengar penuturan sang tabib. Belajar dari situasi seperti itu rasanya bukan main perlu hati-hatinya masyarakat dalam memilih pengobatan alternatif. Penanaman jimat, khodam, susuk atau sejenisnya bisa saja dilakukan tanpa sepengetahuan si pasien. Kalau pasien sudah tahu sih itu lain soal, karena kita sudah bicara mengenai pilihan jadi terserah saja.

Kembali menoleh pada Ponari, saya tersenyum-senyum sewaktu melihat tayangan dia mencelupkan batunya ke air yang dibawa para pasien. Bahkan gara-gara Polisi mengamankan Ponari banyak pasien yang tidak kehilangan akal dengan meminum langsung air dari sumur di rumah anak usia kelas 3 SD ini. Kalau soal menyoal batu dan proses pembentukannya sampai pada bagaimana proses petir bisa menghasilkan batu karena bersentuhan dengan tanah atau pasir sih bisa digoogling. Saya sendiri masih penasaran kenapa ada spa yang menggunakan batu, atau totok wajah memakai batu giok. Semoga saja tidak ada hubungannya dengan jin atau khodam ya...

Nah, untuk mencari jalan keluar agar Ponari bisa sekolah dan batunya tetap dapat menyembuhkan orang, ada beberapa solusi. Pertama, keluarga Ponari bisa membeli atau membuat tandon air. Tandon yang sudah penuh air ini terus dicelupi batu, dan dialirkan ke pipa-pipa layaknya PDAM, praktis kan? Atau kalau yang mau lebih modern dan higienis lagi, bisa juga tuh keluarga Ponari mengajak kerjasama PT Danone untuk membuat saingan minuman POCARI SWEAT, yaitu PONARI SWEAT. Ingin solusi yang lebih "MLM"? Buat saja petir buatan yang bisa mengcreate batu, terus batunya dipecah-pecah menjadi seperti kalung/gelang kesehatan. Beres kan?

Selasa, 20 Januari 2009

OBAMA AND HIS FIRST SPEECH AS THE PRESIDENT OF USA

Pelantikan presiden AS, Barack Obama menyisakan banyak kesan bagi saya. Saya memang Cuma menonton via televisi swasta, namun saya harap apa yang saya peroleh tidak jauh beda bila saya berada di halaman gedung putih pada Selasa siang nan dingin di Washington (katanya sih suhu 0-4 derajat Celsius).

Sepertinya seluruh dunia merasa punya ikatan dengan presiden ke 44 AS ini. Akarnya yang multicultural mengundang daya tarik bagi masyarakat dunia. Pidato Obama tercatat sebagai pidato presiden pertama yang menyebut berbagai agama atau kepercayaan di Amerika dan atau dunia. Terlepas dari diragukannya Obama untuk membuat perubahan yang berarti, ada beberapa hal yang menggelitik saya, sebelum, selama dan sesudah pelantikannya sebagai Presiden AS.

Pertanyaan pertama dibenak saya, apakah satu decade lagi AS tetap menjadi Negara adidaya? Kalaupun tidak satu decade lagi, apakah dua decade lagi, atau bahkan puluhan tahun, tapi yang jelas apakah dan kapankah AS tidak lagi menjadi Negara superpower di dunia. Bukan berarti saya berharap kejatuhan AS, tapi berdasarkan sejarah bangsa-bangsa baik yang tercatat di berbagai Alkitab Qur’an, Bible, atau catatan sejarawan, setiap bangsa punya masa kejayaan. Artinya, setiap bangsa juga mengalami masa kemunduran.

Melompat dari AS ke Indonesia, lebih dari lima belas tahun lalu saya pernah berkata pada Ayah saya, “Golkar pasti akan kalah Pak kalau caranya begini”. Ucapan yang keluar dari anak ABG dan sok tahu ini dulu ditanggapi Ayah saya berupa, “Gak mungkin, infrastruktur Golkar bagus, PNS saja jumlahnya sudah berapa”. Saya dan Ayah memang sering diskusi mengenai fenomena social, sedari kecil Ayah sering bercerita banyak hal termasuk suhu politik. Tapi apa nyana, kira-kira lima tahun kemudian terjadi gejolak di Indonesia yang akhirnya membuat Ayah saya semakin sering diskusi dengan saya.

Golkar atau pemerintah Orde Baru sebenarnya runtuh karena kesalahan dirinya sendiri. Sikap otoriter dan korup nyata-nyata menggerogoti bangsa ini. Kesalahan internal juga menjadi penyebab sebenarnya krismon di AS yang konon berpangkal dari macetnya kredit perumahan. Pidato pertama Obama sebagai Presiden membuat saya bisa mengintip betapa rapuh sebenarnya bangsa Amerika. Obama menyatakan keprihatinannya terhadap nilai-nilai loyalitas, patriotisme dan kepercayaan diri bangsa Amerika belakangan ini. Kawan saya seorang warga Negara AS bertutur bahwa akibat krisis keuangan, semakin banyak warga yang mengantri makanan berkupon. Ini mungkin bisa dikomparasikan dengan antrian BLT atau sembako murah. Saya tidak tahu kalau krisis Amerika kini ternyata sebegitu parahnya. Kawan saya lainnya yang tinggal di LA bercerita betapa semakin banyaknya pengangguran di sekitarnya. Krisis ini merembet pada Negara-negara lapis kedua yang ekonominya ditopang oleh Amerika (konon kalau Indonesia masih lapis ketiga). Singapura sebagai contoh, banyak tenaga kerja terancam di PHK atau berhenti sementara akibat krisis di Amerika. Maklum saja, banyak perusahaan yang saham terbesarnya dikuasai oleh Amerika. Di tanah air, salah satu perusahaan Amerika pendulang emas juga mengalami krisis rembesan dari induknya sehingga PHK menjadi isu yang kian akrab di telinga pegawai-pegawainya.

Dalam pidatonya, Obama Nampak sadar bahwa tantangan yang dihadapinya berbeda dengan apa yang dihadapi Abraham Lincoln ketika menggagas penghapusan perbudakan. Kini ia berada di suatu bangsa yang amat sangat multicultural, super heterogen. Nasionalisme bukan lagi mengambil bentuk yang dulu, kini nasionalisme harus bermetamorfosa menjadi bentuk-bentuk baru. Nasionalisme menjadi semakin dinamis dan lentur. Merujuk Stanford Encyclopedia of Philosphy, Nasionalisme umumnya dijelaskan dalam dua fenomena, yang pertama perilaku penduduk sebuah negara yang memperlihatkan kepedulian mereka tentang identitas nasionalnya, dan yang kedua adalah tindakan yang dilakukan penduduk sebuah bangsa dalam rangka mencapai tujuan nasional. Tidak konsumtif, mencintai produk dalam negeri adalah dua diantara bentuk nasionalisme era baru yang harus dikembangkan di AS kini. Menurut banyak orang Indonesia yang pernah bermukim di AS, belakangan ini AS kurang jagoan dalam berkompetisi dengan Negara-negara lain dalam hal produk-produk elektronik dan otomotif.

Kepercayaan diri rakyat AS bisa saja runtuh karena perilakunya sendiri. AS memiliki banyak musuh, CIA ternyata tidak sejago di film-film action ala Mission Impossible, mosi tidak percaya pada pemerintahannya sendiri, dan kegagalan dalam membentuk warga Negara baru yang baik. Berdatangannya imigran dari seluruh penjuru dunia yang menjadikan konsep “melting pot” laku di AS kini justru saya pertanyakan. Analoginya begini, pedagang kaki lima di Jakarta dan Yogyakarta punya perbedaan mendasar perihal sikap menjaga kebersihan. Di Jakarta, kepedulian pedagang terhadap kebersihan jauh lebih rendah di banding dengan yang terdapat pada pedagang di Yogyakarta. Para komuter atau perantau di Jakarta merasa tidak memiliki Jakarta, mereka hanya numpang hidup dan cari makan. Hal yang hampir serupa menurut saya terjadi juga di AS. Banyak Negara maju yang sebenarnya hampir sama dengan AS dalam hal pertumbuhan jumlah imigran. Perancis, sebagai contoh, diramalkan kira-kira tiga puluh-lima puluh tahun lagi memiliki warga Negara yang kebanyakan berdarah campuran. Dengan kata lain dalam jangka waktu tersebut akan sulit menemukan orang asli Perancis akibat perkawinan campur. Tentu ini mengundang sikap cermat dan antisipatif agar perubahan komposisi penduduk tidak merugikan bagi Negara.

Terpilihnya Obama tentu dipengaruhi intervensi Tuhan. Begitu dramatis karena warna kulitnya, karena begitu hijaunya ia dalam percaturan politik AS (ia tidak pernah menjadi bagian eksekutif seperti walikota atau Gubernur), karena ia datang dari Hawaii bukan dari kota besar di AS, karena Ayah kandung dan Ayah tirinya muslim, karena latar belakang keluarga dan masa kecilnya, karena ia harus memimpin AS di kala krisis moneter dan politik luar negeri, dan karena-karena lainnya. Bagi warga Negara AS, semangat Obama menjadi pemersatu khususnya di kalangan imigran dan golongan masyarakat marginal lainnya. Saya tidak terlalu banyak berharap pada Bapak dari dua puteri ini. Bagaimanapun dia berada dalam lingkaran sistem nilai dan budaya AS. Jadi teringat betapa groginya Obama ketika disumpah, semoga ini tidak menjadi pertanda buruk di masa kepemimpinannya.

Rabu, 14 Januari 2009

BELAJAR KESEIMBANGAN DARI ALAM

Minggu ini sedang musim-musimnya rambutan dan durian. Harganya pun jadi murah dibanding hari-hari biasanya. Tapi bukan itu yang menarik perhatian saya, melainkan mengapa buah ditakdirkan Tuhan berbuah dalam jangka waktu yang berbeda-beda. Kategori paling mudahnya, ada buah yang musiman, dan ada yang tidak kenal musim. Pepaya, jambu air, jambu batu, pisang adalah contoh buah yang tak kenal musim, namun rambutan, klengkeng, durian kenal musim. Topik ini pernah saya diskusikan (ceilahhh "diskusikan") dengan kawan saya (dia pasti ikut baca postingan ini). Saya memang bukan lulusan Biologi, jadi sudut pandangnya bukan pakai ilmu Biologi. Coba deh kawan perhatikan buah-buah yang tak mengenal musim ini punya kandungan vitamin yang luar biasa hebat dan bermanfaat bagi ketahanan tubuh manusia, bandingkan dengan buah yang kenal musim, vitaminnya ada, tapi cenderung juga menimbulkan kerugian dan tidak semua orang cocok.
Sebenarnya Tuhan sudah menciptakan semua siklus secara sempurna, saya meyakini itu. Teman saya yang pernah ikut seminar dengan pembicara orang Jepang, topiknya tentang resep awet muda, mengatakan: kalau mau awet muda, makanlah buah yang sedang mengalami puncak musimnya". So, karena sekarang sedang musim rambutan contohnya, makanlah buah rambutan, jangan kepengen buah yang belum musim, misal mangga.
Tapi manusia dan hasratnya berkata lain, kita lebih mementingkan lidah. Akibatnya pembuahan yang tidak alami diciptakan. Durian pun tak lagi kenal musim, anggur juga demikian. Ya, kalau penyakit darah tinggi semakin banyak diidap orang ya salah sendiri manusianya. Karena kegemaran kita terhadap nasi, padi pun dikembangkan bibit unggulnya, supaya bisa panen tiga kali dalam setahun. Padahal kita masih punya jenis makanan lain seperti singkong, jagung, atau umbi-umbian yang karbohidratnya setara dengan beras.
Akibat ulah manusia, eksistensi kelapa yang terkenal multi manfaatnya kini jadi mulai diragukan. Saya sempat berbincang-bincang dengan kawan yang asli orang Padang, saya katakan kalau masakan Padang yang bersantan sangat beresiko meningkatkan kadar kolesterol. Dia membantah pendapat saya yang sesungguhnya saya ambil dari sebuah majalah kesehatan. Kata majalah itu, 7 dari 10 orang yang menderita penyakit jantung di Indonesia adalah penggemar masakan padang. Tapi kawanku yang orang Padang ini tidak sepakat dengan temuan tersebut. Buah kelapa itu baik, dan sudah beratus-ratus tahun orang Padang punya masakan khas bersantan, dan baru beberapa dekade ini saja banyak orang kena serangan jantung atau stroke, so hubungannya bukan begitu. Menurutnya, bukan jenis masakannya yang tidak sehat, melainkan cara makan dan pengelolaan yang tidak sehat. Campuran MSG dan penyedap buatan lainnya, masakan yang dihangatkan sampai tiga hari, menurut dia adalah penyebab mengapa masakan padang menjadi monster pembunuh bagi pecintanya. Tapi ini menurut dia lho (catatan: dia pengacara, bukan dokter, ahli gizi atau koki hehehe, jadi profesinya gak relevan ya..hihi, tapi orang Padang...gubrak).
Kembali ke persoalan Tuhan yang begitu sempurna dalam menciptakan siklus kehidupan termasuk sumber makanan kita, baru-baru ini saya melihat video tentang penyebaran benih oleh tanaman. Subhanallah, film dokumenter ini mengintip kehidupan privat tanam-tanaman. Intinya sih mau tahu bagaimana sih upaya tanaman menyebarkan benihnya. Ada yang melalui udara dengan terbang, ada yang menyemprotkan serbuknya, ada yang bijinya memiliki semacam baling-baling sehingga bisa jatuh menghujam tanah, ada yang benihnya memiliki sayap sehingga bisa terbang jauh, bahkan ada yang menggantungkan diri pada hewan dan alam.
Akasia(kalau tidak salah nih namanya) adalah salah satu tanaman yang memanfaatkan gajah. Gajah adalah pecinta bunga akasia, jadi di dataran Afrika khususnya mereka biasa memakan bunganya lengkap sampai biji-bijinya. Pencernaan gajah tidak mampu mencerna bijinya, jadi biji itu akan dikeluarkan dalam bentuk utuh. Ajaibnya, proses pencernaan oleh gajah justru menyelamatkan biji akasia dari serangan larva serangga. Konon feses gajah justru membungkusnya sehingga biji tersebut dapat tumbuh. Akhirnya, akasia muda itu pun tumbuh dengan subur dengan menggunakan media pertama feses gajah. Fakta lainnya (sayang saya lupa nama tanamannya), salah satu jenis tanaman di Afrika memanfaatkan kebakaran alami untuk proses penyemaiannya. Kebakaran hutan (tapi kebakaran yang alami akibat musim kemarau lho, bukan karena penebangan liar) ternyata menyimpan manfaat besar bagi pohon ini. Apalagi setelah kebakaran meninggalkan abu dan menjadikan lahan hutan menjadi subur. Wuih, saya jadi bingung, ternyata kebakaran hutan alami itu punya manfaat bagi keseimbangan alam, tidak sebatas merugikan. Tapi ya karena Tuhan yang mengaturnya, maka kebakaran hutan alami ini tidak menyimpan kerugian seperti kalau manusia yang melakukan.
Okay, karena sedang musim durian, selamat makan durian ya. Btw, orang utan di Kalimantan hobi banget lho makan durian, hihihi. Oh ya, kata ilmuwan di film dokumenter itu juga durian punya bau menyengat salah satunya karena untuk membantu dia menciptakan generasi baru. Permukaan luarnya yang berduri pasti tidak akan dilirik orang kalau dia tidak punya bau yang khas, salah-salah orang takut (ini serupa dengan nangka dan cempedak). Bau khas durian ini dikatakan ilmuwan Barat ini berciri begini "this is the famous durian, baunya seperti campuran antara gas dan selokan, yaikhh" huahaha saya tertawa waktu lihat ekspresi dia lihat durian. Tapi waktu dia makan, dia bilang "rasanya enak, lembut, seperti krim mayonaise" ...MAKSUD LOH????

Kamis, 01 Januari 2009

Twilight and The Series, Isn't It Ironic

Wah, pasti sudah ada yang menonton film twilight, atau baca novelnya. Saya sendiri baru baca ketiga serinya, untuk yang terakhir sendiri Breaking Dawn belum baca, masih tunggu terjemahannya hehehe (gak fluent sih englishnya).
Untuk para pria, novel ini mungkin tidak begitu menarik, tapi bagi kami kaum hawa.....aduhai......siapa sih yang tidak mau punya pasangan seperti Edward Cullen? Ya, terlepas dari bahwa dia vampir, sikapnya itu lho........buat para pria, if you really wanna love a woman, contoh deh bagaimana perlakuan Cullen kepada Bella (tapi yang baik-baik aja yah hehehe).
Buku ini ternyata menyedot perhatian kaum hawa tidak hanya yang berusia remaja, tapi juga pra remaja seperti anak kelas 4 SD, sampai yang sudah tidak remaja lagi (kalau saya sih setengah remaja, setengahnya....???).
Yang jelas, kehadiran sosok Cullen dan Jacob mewarnai impian gadis-gadis sejagad belakangan ini, termasuk saya. Dua sosokpria ini mewakili karakter dan selera yang berbeda. Meskipun saya agak kurang suka dengan sebagian nuansa filmnya yang agak norak, tapi saya acungi jempol untuk pemilihan para aktor dan aktrisnya. Sayang untuk peran Edward tampilan fisiknya kurang sesuai dengan harapan saya (subjektif sedikit boleh dong). Film ini ber-budget rendah lho, tapi bisa mengeruk keuntungan yang besar sekali. Lagi-lagi, karena film atau bukunya memenuhi impian wanita tentang sosok pria idaman. Kalau mau lihat film yang adegannya lengkap mulai dari romance ala india (soalnya ada adegan Edward dan Bella tiduran di padang rumput berbunga), komedi ironik, action, horror, film ini cukup memenuhi kriteria itu.
Membaca banyak novel saya jadi membuat kesimpulan bahwa daya tarik utama bacaan adalah pada ada tidaknya ironisme atau paradoks yang diciptakan pengarangnya. Tidak peduli apakah itu masuk akal atau tidak, yang terpenting bagaimana sang pengarang mengemas ironisme dan paradoks tersebut menjadi sebuah hal yang nyata.