Sabtu, 21 Maret 2009

Menjawab Keluhan Teman


Pernah tidak, waktu anda mau menyikat gigi, asyik-asyik memencet tube pasta gigi tiba-tiba isinya malah terpencet begitu saja sehingga bukannya terletak pada sikat gigi anda, justru jatuh ke wastafel atau ke lantai??? Apa yang biasanya anda lakukan, mencomot cairan pasta gigi itu kembali dengan sikat gigi anda, atau anda membuangnya begitu saja dengan alasan higienitas atau lain sebagainya???

Dalam kehidupan kita biasa dihadapkan dengan metamorfosa seperti itu, kita merasa mendapat sesuatu yang bukan seperti kita harapkan, atau alih-alih memperoleh yang terbaik kita merasa mendapat yang nomor 2, 3 dan berikutnya. Ingin kuliah di perguruan tinggi negeri bergengsi, tapi malah diterima di perguruan tinggi swasta, atau yang paling sering saya jumpai cerita-cerita tentang kehidupan perkawinan yang menurut teman saya, kadang menikah itu seperti "be happy to feel unhappyness".

Meskipun pasta gigi itu sudah menyentuh wastafel atau bahkan lantai, kadang kita merasa masih dapat memanfaatkannya. Ada sebagian dari pasta gigi itu mungkin yang masih bisa kita gunakan, dan sebagian lain harus kita siram. Tentu itu tergantung pada pilihan kita semua, memakai, memakai sebagian, atau membuang semuanya. Sama seperti apa yang kita peroleh dalam hidup ini. Ada yang tetap bertahan dan tak berpindah ke lain hati meskipun pasangan hidupnya bukan sosok yang benar-benar ia cintai atau seorang mahasiswa memutuskan pindah program studi karena merasa tidak cocok dengan kajian ilmunya. Setiap pilihan mengandung konsekuensi, dan jangan biarkan diri kita tenggelam dalam menyalahkan orang lain atas pilihan yang ia buat atau sekalipun pilihan kita pribadi.

Berbicara tentang salah-menyalahkan, terkadang kita mengeluh hidup ini tidak adil dan kita menyalahkan orang lain atau diri sendiri, padahal ada banyak hal yang tidak dapat dijelaskan dalam kehidupan kita. Konon, misteri kehidupan itu 99%, sedangkan kenyataan yang bisa kita ungkap cuma 1%.

Mengutip dari "My Blueberry Nighst", sebuah toko kue dan roti menjual beraneka pilihan. Toko tersebut menyediakan roti strawberry, blueberry, coklat, keju, dan lain sebagainya. Roti blueberry ternyata memiliki penggemar paling sedikit dibanding roti-roti lainnya. Walhasil, roti yang paling banyak tersisa di toko tersebut adalah yang berisikan blueberry. Pertanyaannya, apakah roti blueberry itu bersalah atas kurang lakunya ia dijual di toko tersebut? Atau pantaskah kita menyalahkan pelanggan toko yang lebih suka roti isi jenis lainnya? Adilkah juga kita menyalahkan roti-roti isi jenis lainnya karena menjadi saingan roti blueberry? Atau kita ingin menyalahkan toko roti mengapa ia tetap menjual roti isi blueberry? Hmm... saya tidak melihat ada yang salah di sini. Bagi saya hal itu laksana sebuah keadaan yang menunggu penyikapan dari para pelakonnya, bukan menanti pernyataan saling lempar kesalahan.

Kamis, 12 Maret 2009

DARK MATTER


Sebuah film berjudul "Dark Matter" baru saja membuat saya terperangah. Film berlatar belakang kehidupan mahasiswa asing di Amerika Serikat ini sangat saya rekomendasikan untuk ditonton. Mungkin kawan-kawan ada yang pernah mendengar teori Fisika "Dark Matter" atau "Materi Gelap", tapi sungguh film ini bukan bertujuan menjelaskan fenomena Dark Matter, melainkan fenomena yang melekat pada pekerjaan dosen. Kisah yang disuguhkan "Dark Matter" terinspirasi oleh kejadian nyata di University of Iowa pada 1 Nopember 1999. Seorang mahasiswa asing asal Cina bernama Gang Lu melakukan penembakan terhadap lima orang, yang tiga diantaranya adalah profesornya. Mahasiswa S3 jurusan Fisika dan Astronomi ini ditengarai nekad melakukan hal tersebut lantaran frustrasi akan kegagalan disertasinya. Hingga sekarang, University of Iowa belum membuka kesempatan lagi untuk mahasiswa asal RRC.

Versi yang banyak dimuat di Amerika sepertinya lebih banyak menyudutkan Gang Lu. Film "Dark Matter" memang tidak betul-betul menyajikan kisah nyata keberadaan Gang Lu, namun layak menjadi bahan renungan khususnya bagi kalangan akademisi. Dalam film yang dimainkan utamanya oleh Ye liu (sebagai Liu Xing), Merryl Streep (sebagai Joana) dan Aidan Quinn (Sebagai Prof. Jack Reiser) ini, diungkapkan bagaimana seorang mahasiswa yang begitu jenius memiliki masalah dengan pembimbingnya. Jack Reiser yang berperan sebagai supervisor memiliki kesamaan posisi dan situasi dengan Prof. Dwigh Nicholson (Prof. Fisika dan astronomi di Univ. of Iowa). Profesor ini tewas ditembak oleh Liu Xing - mahasiswanya sendiri, padahal ia berperan sebagai pemrakarsa untuk mengundang mahasiswa-mahasiswa dari RRC yang diakui memiliki kecerdasan luar biasa.

Liu Xing pada awalnya sangat memuja Prof. Reiser, ia dipekerjakan sebagai asistennya. Prof Reiser pandai memanfaatkan kemampuan mahasiswa dari RRC, semua asistennya berasal dari negeri tirai bambu tersebut. Selama Liu Xing bekerja dan belajar, kepandaian Liu Xing tidak dapat dielakkan oleh Prof Reiser. Belakangan Prof muda ini justru merasa terancam dengan kebrilyanan pemikiran Liu Xing. Hal ini berakibat pada tidak disetujuinya proposal-proposal disertasi yang diajukan Liu Xing. Kalaupun pada akhirnya Prof Reiser mau menyetujui, Liu Xing "dibantai" pada saat ujian disertasi sehingga ia pun gagal meraih Ph.D-nya. Selain itu Liu Xing juga memiliki saingan yang sama-sama berasal dari RRC dan menjadi asisten Prof Reiser. Untuk lebih jelasnya kawan-kawan bisa menonton sendiri film yang meraih penghargaan pada Sundance Film Festival sebagai film yang berkaitan dengan Sains dan teknologi ini.

Ada beberapa poin menarik dari film tersebut yang layak menjadi topik diskusi terutama mengenai hubungan antara pembimbing penelitian dengan mahasiswanya. Saya memang belum pernah menjadi pembimbing penelitian namun saya sering mengamati proses yang berjalan karena saya pernah dan masih menjadi mahasiswa sekaligus memiliki kolega-kolega yang berperan sebagai pembimbing. Hal menonjol yang paling sering saya jumpai adalah dosen tidak mau atau mampu menghargai ide mahasiswa. Dalam kasus Prof. Reiser hal ini terjadi karena dosen merasa terancam karena kejeniusan mahasiswanya, namun dalam banyak temuan yang saya lihat di sekitar saya banyak dosen yang meremehkan mahasiswanya. Akibatnya, permasalahan penelitian justru menjadi lebih rendah signifikansinya karena kekhawatiran Dosen sendiri mengenai kemampuan anak didiknya.

Hal kedua yang aneh dalam kasus pembimbingan, terkadang mahasiswa dibiarkan terperosok terlalu jauh. Baru ketika ujian berlangsung, Pembimbing sendiri "menjatuhkan" laporan penelitian mahasiswanya. Mungkin saja ketika dalam proses pembimbingan si Dosen tidak begitu cermat, namun jangan sampai ketidakcermatan tersebut sampai membuat mahasiswa harus mengubah terlalu banyak laporannya hingga menyentuh esensi penelitian. Dalam kasus ini jangan-jangan bukan tentang ketidakcermatan melainkan memang sengaja tidak cermat, atau tidak mampu menjalankan fungsi pembimbingnya secara baik.

Poin ketiga adalah tentang besarnya tekanan kepada mahasiswa untuk cepat lulus dengan nilai yang baik. Terlebih kalau ia selama ini diakui sebagai sosok yang pintar, dengan sendirinya tuntutan keluarga pun akan sangat tinggi. Tentu saja ini akan sangat berpengaruh pada ketahanan mental mahasiswa dalam proses penulisan penelitiannya. Ini menjadi PR besar utamanya bagi para orangtua, guru/dosen, petugas konselor atau psikolog pendidikan dalam memberikan dorongan dan harapan yang cukup, jangan berlebihan.

Menyaksikan film "Dark Matter" membuat ingatan saya terlintas pada kasus yang masih cukup hangat dibicarakan, yakni tragedi Nanyang Technology Univ. yang berkaitan dengan David, mahasiswa asal Indonesia. Kasus ini memang belum terkuak secara pasti sebab musababnya, tapi saya berharap kebenaran segera terungkap. Kasus lain di lingkungan kampus yang juga pernah mengundang perhatian adalah penembakan oleh Cho Seung Hui yang menewaskan 32 orang sekaligus ia sendiri pada April 2007 di Virginia Tech Univ. Sebagai salah satu unsur dalam perguruan tinggi, semoga dosen dapat terus "berdamai" dengan mahasiswanya, sehingga tidak ada lagi Gang Lu lain, David lain, dan Cho Seung Hui lainnya.



Rabu, 04 Maret 2009

That's What Friends are For




Dalam berteman pasti kita semua punya selera. Berteman layaknya memilih makanan, kita akan cenderung memilih yang kita suka. Padahal, selayaknya makanan, tidak semua orang cocok atau sesuai dengan apa yang ada di pikiran kita. Namun demikian, lagi-lagi sama halnya dengan makanan, kadang ada orang yang tidak kita sukai, padahal kita tahu bila kita berteman dengan dia akan berdampak baik bagi kita, begitupun sebaliknya.

Tentu saja pertemanan bukan semata bicara tentang kita, namun juga menyangkut pihak lain. Namun menurut pengamatan saya pribadi, kita cenderung akan terus dekat dengan seorang teman bilamana kita nyaman berada di samping dia. Sepintar apapun dia, sebaik apapun dia, selucu apapun dia, atau seramah apapun dia kalau kita tidak merasa nyaman maka cenderung pertemanan itu akan terhenti.

Kenapa sih saya bicara tentang "teman"? Seminggu ini saya memperoleh banyak sekali "penyegaran" tentang pertemanan. Teman-teman lama dan baru mewarnai hidup saya, ada yang offering help tanpa diminta dan ada yang memotivasi tanpa disuruh. Terus lainnya ada yang menjadi media jiwa indigo saya (hahaha), ada lagi yang tahu-tahu muncul setelah lama menghilang, ada yang ngajak debat tentang Bible vs Qur'an, terus ada yang punya kabar gembira tapi diam saja (hihihi),dan ada juga yang punya baby (total bulan kemarin sekitar 5 pasangan...panen nih). Bukan hanya itu,ada yang memberi informasi berlimpah, ada yang berkeluh kesah tentang laporan yang belum juga selesai (hohoho), ada yang kasih resep hidup sehat, sampai ada yang ngamuk-ngamuk gak jelas dan harus saya rayu. Woooaaaahhhh pokoknya banyak deh. Termasuk teman VIP-ku yang mulai bisa menikmati wedhang rondhe di Malioboro (dulu sih mana mau nongkrong di pinggir jalan).

Saudara-saudaraku, dalam kesempatan kali ini saya akan menyampaikan terimakasih tak terhingga atas support dan hinaan yang diberikan kepada diriku (hahaha), percayalah tanpa dukungan atau celaan kalian, akan sulit bagi saya belajar menjadi sosok yang lebih baik. Untuk teman-teman buleku "tercinta" tetaplah menjadi "Yahoo Guy" (Wakakak), don't cha ever be a friend in benefits (dang.....who do this???).