Minggu, 10 Januari 2010

KRITERIA SEBUTAN PAHLAWAN


Wafatnya Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di penghujung tahun 2009 lalu tidak hanya meninggalkan kesedihan namun juga tentang upaya para anak bangsa Indonesia memberikan penghargaan setinggi-tingginya pada pluralis yang dikenal ceplas-ceplos ini. Salah satu bentuk penghargaan yang dituntut para pendukung Gus Dur adalah penganugerahan pahlawan nasional. Tentu hal ini masih mengundang pertanyaan di beberapa kalangan, sejauhmana seorang Gus Dur layak mendapatkan gelar tersebut. Di sisi lain, banyak kalangan politikus baik senior maupun muda mencuatkan dukungannya terhadap penganugerahan gelar tersebut seperti Amien Rais dan Fajrul Rahman.

Sebuah tayangan di stasiun televisi yang biasa menayangkan news dan olahraga sedikit banyak mengejutkan saya. Dalam salah satu topik diskusi, terdapat perbandingan jumlah pahlawan nasional yang ada di Amerika, Indonesia, Cina, Malaysia, dan lain sebagainya. Ringkasnya, ternyata jumlah pahlawan nasional yang ada di Indonesia jauh melebihi tokoh pahlawan nasional yang ada di negara-negara tersebut. Sebagai contoh, bila Indonesia sudah menginjak angka 160-an, maka Amerika Serikat hanya berkutat pada angka 30-an. Fakta ini membuat saya penasaran tentang sejauhmana kriteria yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia akan layaknya seseorang memperoleh gelar pahlawan nasional.

Tentu tidak main-main, negara Indonesia mengaturnya dalam UU no. 33 tahun 1964. Terdapat tujuh syarat yang harus dipenuhi, yaitu:

1. Warga Negara Republik Indonesia yang telah meninggal dunia dan semasa hidupnya telah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik atau perjuangan dalam bidang lain untuk mencapai/merebut/mempertahankan/mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa. Calon juga telah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara dan telah menghasilkan karya besar yang mendatangkan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia.

2. Pengabdian dan perjuangan yang dilakukannya berlangsung hampir sepanjang hidupnya (tidak sesaat) dan melebihi tugas yang diembannya.

3. Perjuangan yang dilakukannya mempunyai jangkauan luas dan berdampak nasional.

4. Memiliki konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan/nasionalisme yang tinggi.

5. Memiliki akhlak dan moral keagamaan yang tinggi.

6. Tidak pernah menyerah pada lawan/musuh dalam perjuangan.

7. Dalam riwayat hidupnya tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dapat merusak nilai perjuangannya.

Terlepas dari mekanisme teknis pengajuan seseorang untuk memperoleh gelar pahlawan nasional, meninjau syarat-syarat sebagaimana tercantum dalam UU tersebut membuat saya berpikir dari berbagai sisi. Katakanlah seorang founding father Soekarno, yang sampai sekarang belum memperoleh gelar sebagai pahlawan nasional. Dari sisi perjuangan kemerdekaan, beliau jelas-jelas menjadi tokoh penting dan jasanya mencuatkan Indonesia sebagai bangsa yang merdeka serta berdaulat. Namun keterkaitan beliau dengan paham komunisme (kemungkinan) masih menghambat untuk menjadikannya sebagai pahlawan nasional. Apalagi Soeharto, yang meskipun sudah memperoleh gelar bapak pembangunan (semasa masa jayanya) namun menorehkan luka pedih di masa 32 tahun rezimnya berjalan. Nama besar Soeharto dinilai belum layak memperoleh gelar tersebut.

Para arwah tokoh-tokoh negeri ini saya rasa tidak memerlukan gelar itu, kini mereka sudah lebih "disibukkan" dengan urusan mempertanggungjawabkan perbuatannya semasa hidup kepada Tuhan. Dengan kata lain, yang merasa perlu atau tidaknya sebuah gelar bagi para tokoh yang sudah wafat ini ya kalangan-kalangan yang merasa itu perlu. Beragamnya persepsi, golongan, suku serta kepentingan, membuahkan berbagai macam pandangan terhadap para tokoh tersebut. Hal ini menjadi sesuatu yang sangat wajar, karena masing-masing orang memiliki persepsi dan latar belakang berbeda. Tentu tidak ada manusia yang sempurna. Saya meyakini di bumi ini tidak ada manusia yang benar-benar bersifat angel, di lain tidak ada juga manusia yang benar-benar bersifat iblis. Seorang manusia yang paling baik di dunia sekalipun saya yakin pernah atau masih memiliki "musuh", demikian juga dengan manusia yang paling bobrok dan tamak, mereka pasti pernah atau punya kawan.

Meskipun kita mengakui tidak ada manusia yang sempurna, gelar pahlawan nasional harus diberikan dengan memperhatikan segenap jasa-jasa sekaligus kekurangan tokoh yang bersangkutan. Jangan sampai kekurangan atau kesalahan yang pernah diperbuat tokoh tersebut betul-betul menciderai gelar "pahlawan nasional" itu sendiri.

Melihat tayangan televisi terakhir kali membuat saya terpukau. Bukan karena menonton Hendri Mulyadi yang nekat turun ke lapangan ketika pertandingan PSSI-Oman berlangsung, melainkan hadirnya Susno Duaji di persidangan yang berbuntut pada sanksi dari institusinya sendiri. Belum lama masyarakat Indonesia bergumul dengan isu Cicak-Buaya, dengan tokoh antagonis yang tak lain tak bukan adalah Susno. Bayangkan, seseorang dapat menjadi "penjahat" dan kemudian beralih sebagai "pahlawan" di mata masyarakat hanya dalam waktu sekejab. Ini semakin menyadarkan saya bahwa dunia sungguh tidak hitam-putih saja. Terlalu naif untuk secara impulsif melabelkan seseorang dengan istilah "pahlawan" ataupun "public enemy" dalam waktu yang singkat.