Sabtu, 14 Februari 2009

SHOES POLITIC

I love shoes. Kalau sudah berada di toko sepatu, saya lupa segalanya. Tapi ngomong-ngomong sudah dengar kabar tentang akan diterbitkannya Juknis atau semacam Inpres tentang kewajiban penggunaan sepatu buatan dalam negeri di kalangan PNS?

Selama ini saya tidak pernah mempersoalkan sepatu dari sisi produsennya, namun lebih pada kenyamanan, model, dan tentu saja soal harga yang penting juga terjangkau. Selama ini sih saya setuju dengan Carrie Bradshaw-nya Sex and The City, semakin mahal sepatu semakin nyaman juga itu sepatu. Kalau bicara awet atau tidaknya sih tergantung pemakaian dan perawatan. Oh ya bicara tentang perawatan, sejauh pengamatan saya justru sepatu yang lebih mahal cenderung lebih rentan ketimbang sepatu yang berharga rendah. Artinya, sepatu dengan harga tinggi lebih memerlukan perawatan khusus daripada sepatu dengan harga rendah. Tapi itu cuma pengalaman saya lho.

Kembali ke persoalan rancangan peraturan yang isinya kelak mewajibkan kalangan PNS menggunakan sepatu merk lokal, ada beberapa poin yang menurut saya menarik. Poin pertama adalah tentu kebijakan ini akan menguntungkan pengrajin sepatu lokal. Bayangkan, jumlah PNS sekarang sudah sampai menginjak angka lebih dari tiga juta, jadi pelanggan dari kalangan PNS sendiri sudah merupakan pasar yang cukup besar. Jadi pada prinsipnya saya setuju sekali dengan kebijakan ini.

Poin kedua yang menjadi perhatian saya adalah tentang filosofi apa yang melatarbelakangi kebijakan ini. Kalau sekedar pragmatis yakni menyelamatkan bangsa ini dari invansi produk China dan negara lainnya, kenapa harus ditujukan pada PNS? Dengan tingkat penghasilan yang sudah menjadi rahasia umum, rasanya PNS yang bisa membeli sepatu import tidak sampai 25%. Kenapa kebijakan tentang sepatu lokal ini tidak melibatkan siswa sekolah? Selain itu apakah orang-orang pada jabatan politis nantinya juga dimasukan sebagai kategori yang diwajibkan (contoh: walikota, anggota DPR, menteri)?

Mengintip dari detiknews dan blog-blog lain, diperkirakan bentuk kebijakannya adalah dengan memberikan sepatu kepada setiap PNS dengan kisaran harga yang ditentukan. Mmmmm, isunya bisa melebar ke kedisiplinan atau kesejahteraan. Lalu berimbas juga ke perihal proyeknisasi. Kalau Pemda Mojokerto sih sudah merintis hal ini lebih awal. Maklum saja, daerah ini memang terkenal sebagai penghasil sepatu. Bagus juga sih, tapi apakah hal yang sama diterapkan kepada siswa saya belum googling. Bagaimanapun, menurut saya pelajar adalah sasaran yang strategis kalau tujuan kebijakan adalah menumbuhkan kecintaan pada produk dalam negeri. Landasan kesejahteraan malah justru lebih mengena bila pembagian sepatu diberlakukan di kalangan PNS.

Poin ketiga yang perlu ditelisik, istilah "mewajibkan" berarti ada reward dan punishment dong. Poin keempat, bagaimana cara pemerintah tahu apakah si A pakai sepatu buatan lokal atau import, mau dicek satu persatu? Poin kelima, adalah kurangnya pengetahuan kita sendiri tentang produk-produk sepatu buatan dalam negeri. Hal ini berkaitan dengan penggunaan nama-nama merk sepatu yang berbau asing padahal sebenarnya lokal, sebut saja Piero. Salah-salah karena kebijakan ini malah sebaliknya yang terjadi, yakni dirugikannya produsen lokal karena ketidaktahuan pelanggan he3. Maklum, produsen Indonesia masih kurang pede menggunakan nama yang berbau lokal. Jadi ya, ada tuh beberapa merk yang sepertinya nasional eh malah buatan luar negeri, atau sebaliknya. Bingung kan?

Tetapi tentu saya setuju dengan arah kebijakan pemerintah ini, namun kalau bentuknya saya kurang setuju. Istilah mewajibkan bisa kan diganti dengan "menghimbau"? Kemudian kalau berujung pada bagi-bagi sepatu saya kurang setuju. Masalahnya akan menjadi pelik sekali. Apa yang menjadi kriteria sebuah sepatu dijadikan pakem bagi semua jenis pekerjaan dalam PNS? Model sepatu A mungkin sesuai dengan kebutuhan pegawai di divisi A, namun tidak demikian halnya dengan mereka yang ada di divisi B.

Daripada repot mengurusi soal model sepatu yang hendak dijadikan seragam, lebih baik berpikir tentang pemberian kesejahteraan dalam bentuk lainnya. Kalaupun PNS hendak dibagi-bagi sepatu, jangan dilakukan sebelum pemilu, salah-salah jadi SHOES POLITIC.

Jumat, 13 Februari 2009

PONARI PUTERA PETIR


Belakangan ini berita tentang "dukun cilik" merebak di sejumlah pemberitaan media massa. Sedikit terlambat, saya ingin ikut-ikutan mengkomentari fenomena ini.

Saya tidak mau buru-buru menganggap apa yang dilakukan sejumlah pasien Ponari sebagai hal yang musyrik. Hari gini, ada pengobatan murah, cepat, dan gak pakai sakit....pasti kebanyakan kita tergoda mau tahu jenis pengobatan seperti apa sih ini. Saya berasumsi tidak semua pasien Ponari yang datang menganggap batu itu sebagai penentu kesembuhan, saya menyimpan harapan sebagian dari mereka memandang batu ajaib itu sebagai obat. Ya, obat...kawan ingat kan kalau sedang sakit jika ingin sembuh ya minum obat? Meskipun obat dapat meringankan atau menghilangkan rasa sakit, saya yakin kawan-kawan berdoa bukan pada obat, melainkan pada Tuhan agar menyembuhkan sakit. Jadi jangan langsung menuduh saudara-saudara kita di Jombang dan sekitarnya sebagai orang musryik ya, kasihan mereka. Nanti yang rebutan air zam zam bisa dicap syirik juga dong?

Sebenarnya apa yang istimewa dengan batu Ponari? Kawan sebagian besar mungkin sudah tahu, atau bisa melihat di pemberitaan kalau ingin tahu lebih jelas. Saya pribadi tidak merasa ada yang istimewa, karena sebenarnya terlepas benar atau tidak pengobatan alternatif di sekeliling kita juga menyisakan banyak pertanyaan.

Cerita agak sedikit seram pernah saya dengar dari teman saya sendiri yang punya penyakit dalam cukup akut di organ yang sangat vital bagi kehidupan. Teman saya ini enggan operasi dan memilih mendatangi paranormal (u can say dukun or whatever deh, tapi si Bapak ini gak mau dipanggil demikian hihihi). Melalui operasi yang tidak masuk akal kalau dipikir secara logika, teman saya ini menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana tubuhnya dibedah, dan dijahit kembali oleh si paranormal. Kesembuhan pun terjadi. Dokter langganan bahkan terkejut mengetahui keadaan tubuh teman saya yang healing begitu cepat dan signifikan. Namun enam tahun kemudian sesuatu terjadi...

Suatu hari teman saya ini mengalami kelelahan, dan akhirnya terpaksa dilarikan ke rumah sakit. Dari hasil observasi oleh dokter, ditemukan bahwa teman saya mengalami komplikasi penyakit yang mengkhawatirkan, satu penyakit yang dulu, dan dua penyakit tambahan. Atas pengalaman salah seorang teman lainnya, ia pergi menuju pengobatan alternatif lain. Ya, lagi-lagi alternatif karena ia takut dengan pengobatan medis (kalau sudah takut ya susah sembuhnya karena pengaruh sugesti juga kuat lho terhadap kesembuhan).

Tabib di pengobatan alternatif lain yang ia kunjungi mengatakan sesuatu yang membuat merinding bulu kuduk saya. Kata si tabib ini, teman saya bisa menjadi pengikut setan karena bagian organ tubuhnya sudah ditempati oleh Khodam (jangan tanya definisi khodam deh, mungkin mirip-mirip jin perewangan). Menurut pak tabib, jika tubuh kita ditempati khodam maka batin pun tidak tenang, mudah marah dan gelisah. Keberadaan khodam tidak menghilangkan penyakit, malah justru akan mengakibatkan pertambahan penyakit baru.

Tentu saja teman saya shock mendengar penuturan sang tabib. Belajar dari situasi seperti itu rasanya bukan main perlu hati-hatinya masyarakat dalam memilih pengobatan alternatif. Penanaman jimat, khodam, susuk atau sejenisnya bisa saja dilakukan tanpa sepengetahuan si pasien. Kalau pasien sudah tahu sih itu lain soal, karena kita sudah bicara mengenai pilihan jadi terserah saja.

Kembali menoleh pada Ponari, saya tersenyum-senyum sewaktu melihat tayangan dia mencelupkan batunya ke air yang dibawa para pasien. Bahkan gara-gara Polisi mengamankan Ponari banyak pasien yang tidak kehilangan akal dengan meminum langsung air dari sumur di rumah anak usia kelas 3 SD ini. Kalau soal menyoal batu dan proses pembentukannya sampai pada bagaimana proses petir bisa menghasilkan batu karena bersentuhan dengan tanah atau pasir sih bisa digoogling. Saya sendiri masih penasaran kenapa ada spa yang menggunakan batu, atau totok wajah memakai batu giok. Semoga saja tidak ada hubungannya dengan jin atau khodam ya...

Nah, untuk mencari jalan keluar agar Ponari bisa sekolah dan batunya tetap dapat menyembuhkan orang, ada beberapa solusi. Pertama, keluarga Ponari bisa membeli atau membuat tandon air. Tandon yang sudah penuh air ini terus dicelupi batu, dan dialirkan ke pipa-pipa layaknya PDAM, praktis kan? Atau kalau yang mau lebih modern dan higienis lagi, bisa juga tuh keluarga Ponari mengajak kerjasama PT Danone untuk membuat saingan minuman POCARI SWEAT, yaitu PONARI SWEAT. Ingin solusi yang lebih "MLM"? Buat saja petir buatan yang bisa mengcreate batu, terus batunya dipecah-pecah menjadi seperti kalung/gelang kesehatan. Beres kan?