Sabtu, 25 April 2009

FILM DOKUMENTER PERTARUHAN; SELEBRASI HARI KARTINI


Assalammualaikum!!!

Baru saja saya menyaksikan rangkaian film dokumenter berjudul Pertaruhan yang ditayangkan di Metro Tv. Terharu, itu perasaan yang paling menyeruak di benak saya. Semua film dokumenter tersebut memang berbicara tentang wanita. Hari Kartini yang baru berlalu beberapa hari kemarin memang perlu "dirayakan" tidak secara normatif seperti lomba memasak, lomba merangkai bunga, atau yang paling jadul lomba kebaya.

Film pertama menyajikan tentang perjuangan TKW di Hongkong, kedua adalah tentang khitan pada wanita, ketiga yakni pelayanan kesehatan reproduksi wanita yang diskriminatif, serta terakhir perjuangan hidup PSK di daerah sekitar Jawa Timur.

Cerita yang disajikan pada film tersebut memang bagian dari kehidupan wanita Indonesia yang jarang atau bahkan masih tabu dibicarakan. Ada TKW yang harus dioperasi melalui alat kelaminnya karena terserang miom namun oleh kekasihnya justru dicurigai sudah tidak perawan lagi. Di sisi lain, seorang TKW lainnya merasakan kasih sayang dari pasangan sejenis dilatarbelakangi rasa sakit hatinya terhadap mantan suami. Pada film kedua mengisahkan kenyataan tradisi dan keyakinan beberapa komunitas yang mewajibkan sunat bagi anak wanita. Khitan bagi wanita "diharamkan" oleh Departemen Kesehatan, namun demikian masih banyak kalangan khususnya dari komunitas muslim di Indramayu yang mengatakan hal tersebut sebagai kewajiban. Konon nafsu wanita lebih besar ketimbang pria, dan untuk itu wanita harus disunat. Tentu saja ini berlawanan dengan fakta medis. Pertimbangan-pertimbangan dengan dalih religi dan mitos ternyata sangat tidak mendasar.

Kisah ketiga merupakan hal yang benar-benar unik menurut saya, dan terus terang saya baru tahu akan hal ini. Pelayanan pemeriksaan alat reproduksi wanita di Indonesia ternyata sangat bersikap "banci". Contoh nyata yang dibuktikan dalam film dokumenter ini adalah bagaimana sulitnya perempuan lajang memperoleh akses salah satu pemeriksaan alat reproduksi kewanitaannya yakni pap smear. Di tiga rumah sakit yang didatangi aktris film tersebut, seorang wanita harus berstatus sebagai nyonya terlebih dahulu bila akan diperiksa dengan metode pap smear. Kalaupun pasien wanita lajang tadi berhasil melewati komentar-komentar perawat atau petugas di bagian pendaftaran, maka ia harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan dokter yang jauh dari esensi pemeriksaan pap smear itu sendiri. Bayangkan saja, ada pertanyaan seperti ini "kamu lajang, orang tuamu tahu kamu periksa pap smear?", atau sampai ada yang mendoakan pasiennya dengan doa Bapa Kami karena si pasien tersebut mengaku lajang tapi aktif secara seksual. Jadi, tips bagi wanita lajang di Indonesia yang mau memeriksakan kesehatan alat reproduksinya adalah lebih baik mengaku saja sebagai Nyonya ketimbang jujur menyatakan dirinya Nona. Lucunya, sekitar tahun 2005 saya pernah memeriksakan sakit demam pada salah satu rumah sakit swasta di Kota Yogyakarta dan baru sadar pada kartu pendaftaran tertulis disana bahwa saya Ny. Padahal, saya masih ingat sekali waktu itu saya mengulang kata Nona sampai tiga kali pada si resepsionis. Mungkin status Nyonya lebih disukai ya.. hehe. Terlepas dari kasus kesalahan pengetikan status saya, kultur masyarakat kita memang masih menganggap tabu persoalan kesehatan alat reproduksi pada wanita berstatus lajang. Seorang anak wanita yang baru mengalami pubertas pun belum tentu dibekali pengetahuan yang cukup dari orangtua maupun sekolahnya. Akibatnya mereka mencari informasi sendiri atau bertanya pada teman dengan hasil jawaban yang mungkin saja salah-salah justru jauh dari benar.

Adapun kisah keempat dari film dokumenter ini yaitu tentang pekerja seks komersil (PSK) di daerah Jawa Timur. Lokasi mereka bekerja adalah pekuburan Cina, dan selain sebagai PSK di siang hari mereka bekerja sebagai penumbuk batu. Ada dua wanita yang menjadi sentral film keempat, yakni N dan M. N memiliki dua orang anak masih berusia TK dan pra TK, sedangkan M tidak memiliki anak namun memiliki teman lelaki yang kumpul dengannya serumah. Saya harus mengakui air mata saya mengalir deras pada giliran film keempat ini. Bagaimana tidak, perempuan-perempuan ini dimanfaatkan oleh preman-preman tengil disekitarnya, belum lagi mereka tidak mampu dan kurang peduli akan kesehatannya. Mungkin agak klise kalau harus diceritakan bagaimana pergumulan mereka dalam melawan kemiskinan dan ketidaksehatan, namun itu memang nyata dan kita tidak dapat menutup mata. Aksi patroli di lokasi pekuburan Cina itu pun kemudian menjadi paradoks yang menggelikan.

Terlintas di pikiran saya, dalam pandangan kristiani, mungkin inilah mengapa Isa Almasih dalam kisahnya di Bible salah satunya memunculkan seorang wanita bernama Maria Magdalena selaku PSK yang ingin bertobat. Isa Almasih tidak menghukumnya, namun memberi pengampunan. Masyarakat kita termasuk pemerintah hendaknya juga demikian, pembinaan terhadap para PSK (tidak hanya PSK wanita lho) hendaknya dilakukan dengan sungguh-sungguh. Setiap orang pasti pernah berbuat salah, dan jika pun wanita-wanita ini mengalami kesalahan yang perlu dilakukan kita bukanlah menghakimi tetapi pada bagaimana menyikapi agar mereka tidak lagi melakukan "kesalahan" yang sama. Saya sebenarnya tidak terlalu nyaman mengucapkan kata "salah", karena bagi saya fungsi manusia terhadap sesama dalam konteks ini bukanlah menghakimi, lain halnya kalau saya ditanyakan apakah perbuatan tersebut salah dalam pandangan agama. Tindakan saya ini bukan berarti "menghalalkan" yang salah lho teman, namun lebih menjadikan "kesalahan" sebagai media pembelajaran dalam kehidupan.

Ahhh, saya jadi teringat waktu beberapa orang teman "menyalahkan" teman lainnya karena ada pergeseran nilai dan norma pada diri orang lain menurut pandangan agama kami. Menurut saya mengapa kita tidak lebih mengambil putusan tentang apa yang harus dilakukan setelahnya, ketimbang memutuskan "benar" atau "salah"nya tindakan dan sikap seseorang. Setiap tindakan pasti membawa konsekuensi dan itu yang pantas direnungkan ketimbang kembali menghakimi kesalahan orang lain.

Buat yang belum menonton rangkain film dokumenter berjudul "Pertaruhan" ini, saya sangat sarankan menyempatkan diri menontonnya, baik wanita maupun pria. Sayang saya belum tahu kapan film ini akan ditayangkan ulang oleh Metro TV. Hidup wanita Indonesia... mulai dari yang muda sampai yang tua, dari yang miskin sampai yang kaya, yang belum berdaya sampai yang belum berdaya, dan dari yang ustadzah sampai yang (masih) menjadi PSK. /^_^\