Sabtu, 02 Mei 2009

MUDA, GIGIH, DAN KAYA HATI


Mungkin saya terlalu banyak membaca chicken soup, atau buku-buku sejenis lainnya yang mengharu biru mengenai kisah kehidupan dan bagaimana cara menghargainya. Dua hari ini saya merasa feel "nothing" setelah sadar betapa salah satu adik saya telah melampaui fase "hirarki kebutuhan maslow" jauh.. jauh melebihi saya yang mungkin masih terlalu banyak di tingkat rendah teori kebutuhan maslow.

Kami dulu seperti anjing dan kucing, begitu Ibu saya biasa menyebut betapa kami selalu bertengkar satu sama lain. Pertengkaran yang mungkin juga banyak ditemui di tengah-tengah hubungan kakak-adik di keluarga lain, seperti rebutan makanan (haha), rebutan mainan, sampai saling mengejek bentuk muka dan bentuk kuping (haha lagi).

Tapi pertengkaran lucu dan kadang menyebalkan itu semakin tidak saya rasakan begitu saya harus pindah ke luar kota dan semakin jarang bertemu dia. Terus terang sering kangen juga. Sayang begitu kami bertemu tidak terlalu banyak waktu dapat kami luangkan mengingat dia seorang anak muda yang cukup punya banyak kesibukan (selain sibuk tidur hehe). Persaudaraan kami pun semakin memiliki warna setelah kehadiran si bungsu yang sungguh tidak diduga-duga kehadirannya (haha).

Dulu, setiap saya bertengkar dengan adik pertama ini, Ayah pasti menasehati saya bahwa suatu saat nanti saya dan adik saya akan bahu membahu alias tolong menolong. Kata Ayah, kelak dia akan menjadi pelindung saya. Haha waktu itu saya memaknai kata-kata Ayah hanya secara harfiah "pelindung? memangnya nanti dia bisa melindungi saya kalau saya dirampok?" Itu pasti yang ada di benak saya setiap kali nasehat Ayah meluncur. Namun sungguh, kini saya merasa demikian. Banyak hal besar sampai kecil yang sudah dilakukan adik terhadap saya, haha apa sih yang dilakukan orang yang tidak bisa menyupir mobil? Ya minta disupiri kan? Waktu kelaparan malam-malam, siapa yang mau membelikan saya makanan favorit, bahkan pacar pun belum tentu mau. Beli tiket bus juga dia yang melakukannya.

Satu hal yang sangat saya paham sedari kecil, adik lelaki saya ini punya keterampilan sosial yang jauh lebih menonjol daripada saya. Prestasi belajarnya sih biasa-biasa saja bahkan boleh dikata di bawah saya, namun saya tidak pernah bisa melampaui pencapaiannya dalam hal kehidupan sosial. Dia merupakan siswa yang populer di sekolah. Kehidupan organisasinya sangat baik, bahkan dia pernah meledek saya menyangkut tidak populernya saya di sekolah. Maklum, kami sekolah di SMA yang sama meskipun ketika dia masuk di sekolah tersebut saya sudah masuk universitas. Dia berupaya tahu juga ternyata apakah sister-nya masuk golongan anak populer dengan bertanya pada beberapa pihak di sekolah, haha hasilnya saya cuma populer di bidang akademik.

Kadang saya berupaya mencari darimana dia memperoleh bakat keterampilan sosial yang baik. Dia cenderung mudah disukai dan menjadi pemimpin dari dulu, haha mulai dari geng bocah-bocah di perumahan kami, teman-temannya di sekolah, sampai rekan-rekan sekantornya. Bahkan tetangga kami memuji-muji dia karena sikapnya yang ramah dan sopan (uhhhh berarti saya sebaliknya dong haha).

Bukan hanya itu perbedaan kami yang menonjol, adik saya memiliki jiwa kewirausahaan yang sudah muncul dari dia kecil. Haha.. masih ingat betapa dia diomeli orangtua saya karena melakukan ojek payung dekat rumah... haduh tertawa sampai guling-guling saya kalau ingat peristiwa itu. Walaupun orangtua kami tidak pernah kesulitan memberi ia uang saku, namun ia selalu berupaya menambah income-nya. Satu hal yang menurut saya mengawali perbedaan diantara kami menyangkut kewirausahaan adalah karena Adik saya tidak khawatir menempuh resiko. Sekarang dengan usaha kecil-kecilannya dia mampu memberi untuk orang lain penghidupan meskipun seadanya, tentu....... dengan pencapaian ini saya merasa tidak ada apa-apanya.

Jauh daripada persoalan harta benda, adik saya sudah menggagas kelompok sosial yang berupaya membantu mereka yang masih kekurangan. Mengetahui hal ini saya betul-betul merasa "kecil", sejauh ini saya hanya melakukan hal-hal sosial secara ikut-ikutan dan lebih banyak dalam bentuk materi. Betapa berbeda peran kami berdua, saya sebagai pengikut dan dia sebagai pemimpin. Jadi ingat, beberapa waktu yang lalu saya pernah bersumpah pada diri saya sendiri untuk tidak menjadi pemimpin mengingat tanggungjawab yang begitu besar (karena saya terlalu terobsesi untuk menyenangkan semua orang, dan tidak tahan kalau ada yang protes kebijakan saya).

Sebelum adik saya kaya raya (amin) saya sudah bangga dengan keberadaannya, bahkan sebelum dia menjadi manusia dewasa yang "settled" secara apapun dia sudah menunjukkan entitasnya sebagai manusia yang unggul dan tidak egois. Klise rasanya perkataan yang berbunyi "kaya hati", namun kini saya benar-benar merasakannya terhadap adik saya. Dia bisa begitu berarti di mata orang lain dengan segala keterbatasannya, dan tentu saya bangga terhadapnya. Lebih bangga lagi terhadap kedua orangtua kami yang mampu menumbuhkan bibit subur "kekayaan hati" terhadapnya. Ungkapan Ayah kami tentang kelak dia akan menjadi pelindung saya sudah terbukti, mungkin adik saya-lah yang menyelamatkan saya dari "perampokan hati" hehehe.