Sabtu, 20 Juni 2009

KALI INI SOAL BATIK


Tanggal 20 Juni 2009 lalu saya dan beberapa teman menghadiri sebuah pagelaran rancang busana berbahan dasar batik, khususnya batik ala Kota Tegal. Cukup menarik, itu kesan yang saya peroleh. Dalam beberapa jam saya "menikmati" gaya hidup sosialita Yogyakarta, dan sempat juga makan gratis dengan menu khas daerah Tegal. Pulangnya pun kami menenteng suvenir berupa jajanan atau buah tangan khas Tegal, yakni teh tubruk, pilus, telur asin, pia, dan kacang bawang. Kami pun pulang dengan puasnya, namun bukan hanya lantaran tampilan fashion dan suguhan yang kami peroleh, tentu lebih dari itu.

Saya yakin dari semua hadirin yang hadir saat itu belum semua tahu bahwa Kota Tegal dan sekitarnya memiliki batik yang khas. Selama ini kita kebanyakan mengenal batik Pekalongan. Meskipun bertetangga, nampaknya kepopuleran Pekalongan sebagai penghasil batik belum dapat disamai oleh Tegal.

Motif yang ditawarkan Batik Tegal cenderung bernuansa alam. Tegal sebagai wilayah pantai mungkin sama halnya dengan Cirebon, Madura, Pekalongan dan pesisir pantai lainnya nampak menyukai motif burung serta dengan ukuran motif yang lumayan lebih besar dibandingkan dengan batik Solo dan Yogyakarta. Warna yang ditawarkan pun lebih "berani", dan terus terang sangat mengingatkan saya akan motif batik Madura.

Ada yang menarik dari apa yang diungkapkan Ketua Paguyuban Pencinta Batik Indonesia Sekar Jagad Yogyakarta, Larasati Suliantoro, tiga hari sebelum pagelaran batik Tegal ini berlangsung. Menurutnya langkah pemerintah untuk membiasakan tradisi penggunaan batik di kalangan PNS belakangan ini belum optimal. Tentu saya bertanya-tanya, apa yang dimaksud sebagai "belum optimal" yang keluar dari pendapat Ibu yang masih terlihat cantik diusianya yang sudah sepuh ini. Apakah yang dimaksud soal intensitas penggunaan (jadi harus lebih sering tidak hanya hari kamis dan atau Jumat), atau soal model (apa mesti harus ada standar model pakaian kerja ala batik) atau apa?? Ternyata bukan itu yang dimaksud Beliau.

"Memang pemerintah sudah mengarahkan agar semua pegawai memakai batik, tetapi batik jenis apanya tidak ditentukan sehingga yang dipakai bukan batik sungguhan. Kami memohon Bapak Gubernur mau menjadikan Yogyakarta sebagai kota batik sungguhan," Begitu ujar Beliau. Tambah Bu Larasati, saat ini berkembang pengertian yang salah tentang batik. Secara umum, masyarakat memilah batik menjadi tiga, yakni batik tulis, cap, dan printing. Padahal, yang bisa disebut batik berdasarkan metode pembuatannya hanya batik tulis dan batik cap, atau kombinasi keduanya, sedangkan batik printing tidak bisa disebut sebagai batik. Sayangnya, sekarang ini kita lebih mudah menjumpai kain tekstil dengan motif menyerupai batik atau yang disebut batik printing. Bahkan wisatawan yang datang ke Yogyakarta sendiri (yang dikenal sebagai sentra batik) tidak mudah menemukan produk batik yang tulis atau cap.

Wowww.. padahal kita tahu sendiri bagaimana jarak harga diantara ketiga jenis batik tersebut. Katakanlah batik tulis kisarannya Rp. 200.000 ke atas, batik cap sekitar Rp 80.000 ke atas, sedangkan batik printing (hehehe) Rp 10.000 per meter juga ada. Bisa dibayangkan kalau seorang PNS bergolongan rendah (seperti saya) diwajibkan menggunakan batik tulis atau cap, tentu bagus secara tampilan dan seni, tapi secara nilai ekonomis mungkin belum tentu terjangkau (atau pasti tidak terjangkau).

Selain pagelaran batik ala Kota Tegal, kami juga hang out di pameran batik nusantara pada hari yang sama. Kami takjub bukan kepalang, melihat koleksi batik sekitar 180-an yang berasal dari berbagai penjuru tanah air. Belum lagi keterangan-keterangan pada beberapa motif batik yang menerangkan falsafah pada pola yang terdapat didalamnya. Subhannallah, ternyata sebegitu "njelimetnya", dan sebegitu dalamnya makna yang terkandung. Hal ini khususnya kami temui pada batik Surakarta dan Yogyakarta. Batik peningset, ada maknanya sendiri.. batik siraman pengantin ada artinya lagi.. yang jelas kami sebagai orang Indonesia yang mengaku cinta batik malu sendiri karena baru tahu akan hal ini. Belum lagi kami menemui batik-batik dari Kota Sragen, Klaten, Tasikmalaya, Pati, Kudus, Semarang, Tuban dan lain sebagainya yang selama ini belum pernah kami lihat. Bukan hanya kami yang senyum-senyum sendiri menertawakan "kekuperan" soal batik, ternyata pengunjung-pengunjung lainnya pun demikian.

Ahai.. dari 240 juta penduduk Indonesia mungkin baru segelintir orang yang tahu dan mau tahu tentang batik. Namun masih segar diingatan kami, betapa "murkanya" orang Indonesia ketika negeri tetangga mengklaim batik sebagai produk seni kerajinannya.

Lebih dari itu saya semakin menyadari benarnya pernyataan mendiang Ann Dunham Ibunda dari Barack Obama yang mengaku semakin mengenali budaya Indonesia dari batik yang dikaguminya. Batik bukan sekedar alat sandang, namun juga bercita rasa seni. Seni yang bernilai tinggi wajar saja jika harus ditebus dengan ongkos ekonomi yang relatif tinggi. Di masa silam maupun kini kain batik tulis masih dinilai sebagai benda bernilai ekonomi tinggi, contoh paling sederhana nampak dari diterimanya kain batik sebagai alat gadai.

Mengingat posisi batik yang bukan sekedar bahan sandang dan citra namun sudah menyentuh tataran seni tingkat tinggi, batik menjadi "mahal" di kalangan masyarakat Indonesia pada umumnya. Tentu yang saya maksud terminologi batik sesuai pendapat Bu Larasati. Sebagai benda bernilai seni tinggi, menjadi hal yang wajar bila tidak semua orang mampu dan mau memilikinya. Mungkin ada yang mampu namun tidak melihat batik sebagai hal yang indah atau istimewa, atau ada yang menyukai batik dan mencintai keindahannya namun tidak mampu membeli.

Sebagai nilai seni, maka penggunaan batik yang "dipaksakan" tentu berdampak pada menurunnya keindahan pada batik atau penggunanya itu sendiri. Bagi mereka yang sudah mampu mengenakan batik tulis dan cap juga seyogyanya tidak "ngenyek" kalangan yang sebatas menggunakan batik printing. Dengan perspektif seni, maka ini tidak bedanya dengan seorang awam yang sinis terhadap kalangan pecinta lukisan yang tak segan menghabiskan bermilyar uang hanya demi sebuah gambar. Mereka terheran-heran akan sesuatu hal yang memang berada di luar jangkauan pikiran, kemampuan dan seleranya.

Mungkinkah batik tulis dan batik cap harganya semakin terjangkau di kalangan masyarakat? Memang tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, namun untuk kasus ini saya lebih berpihak kepada yang jangan mungkin. Biarkan saja batik tulis dan batik cap menjadi tetap "eksklusif", kalau harga semakin turun dan menjadi terjangkau oleh sebagian besar kalangan justru ditakutkan ada yang hilang dari nilai batik itu sendiri. Saya hanya ingin batik tetap sebagai batik apa adanya.

Minggu, 07 Juni 2009

HANYA OPINI TENTANG KONTES RATU KECANTIKAN


Haha.. agak trauma saya mendengar kasus Prita Mulyasari yang digugat berkaitan dengan sharing-nya, jadi saya tegaskan ini hanya opini, jadi boleh setuju atau sebaliknya.

Sudah lama saya tidak melihat ajang kontes kecantikan baik yang berskala nasional maupun internasional. Beberapa hari ini ada beberapa komentar atau perbincangan di internet mengenai pemilihan miss indonesia yang baru saja berlangsung.

Untuk mengatakan dukungan terhadap kontes kecantikan terus terang saya tidak mampu, namun saya menghargai bila memang masih banyak orang yang merasa perlunya kontes-kontes seperti ini. Tentu ini bukan lantaran saya frustrasi karena tidak cantik (hehe), tapi berat hati saya untuk mengatakan bahwa ajang ini bermanfaat bagi banyak orang, nusa dan bangsa (kecuali bagi yang senang melihat parade wanita cantik berpakaian minim). Dulu saya sempat bertanya-tanya mengapa pemerintah Indonesia tidak pernah secara resmi mensupport puteri-puterinya untuk tampil dalam ajang seperti ini (paling banter menteri pariwisata), dan saya sendiri tidak terlalu tertarik untuk mengatasnamakan budaya dan adat ketimuran yang berlawanan dengan kontes ratu kecantikan. Bagi saya ini tidak sepenuhnya berkaitan dengan budaya barat vs timur, karena banyak kalangan di masyarakat barat yang juga tidak setuju dengan ajang ini.

Saya tidak akan merunut alasan dari sisi agama, saya sendiri masih harus banyak belajar tentang agama yang saya anut. Pertimbangan saya lebih mengacu pada substansi tujuan, proses, penilaian, dan hasil ajang kontes ratu kecantikan.

Nilai kecantikan dalam kontes pada umumnya merupakan tolok ukur wajib. Meskipun cantik itu sendiri sebenarnya juga relatif, kontes kecantikan menggunakan ukuran absolut. Alhasil, kontes kecantikan membentuk standar kecantikan di sekitar kita. Namun sebenarnya bukan ini yang menjadi keprihatinan saya, karena bagaimanapun ukuran kualitas (bila kecantikan merupakan kualitas bukan kuantitas) memang terdiri atas dua, yakni relatif dan absolut. Tidak ada alasan bagi saya untuk memusuhi yang cantik. Jika ada orang yang cantik tentu bukan "salahnya" menjadi cantik, demikian juga bagi yang kurang (tidak cantik seperti saya hehe).

Perhatian saya lebih kepada penggunaan embel-embel "brain" and "behavior". Tentu penjurian menggunakan proporsi yang tidak sama antara beauty, brain dan behavior masing-masing peserta. Kalau sama, saya yakin yang bisa masuk dalam ajang ini bukan hanya yang bertubuh langsing dan berwajah simetris, namun juga yang sebaliknya asalkan memiliki otak dan perilaku yang di atas rata-rata. Jadi, jelas memang kontes-kontes ini tidak lebih dari menilai kecantikan. Sisanya hanya menjadi aksesoris, seperti layaknya bila saya tidak suka sayuran namun terpaksa mengambil menu sayuran sebagai lauk pauk saya karena takut dikatakan tidak menyukai makanan sehat. Padahal menu sayuran yang saya ambil kelak juga akan saya buang, atau bila pun saya makan porsinya hanya sedikit.

Hal lain yang "mengganggu" saya adalah tentang tujuan dari kontes ini. Katakanlah sebagai duta wisata, apa benar ada signifikansi hasil pagelaran ini terhadap jumlah turis yang datang. Kenyataan bahwa kebanyakan outcome kontes kecantikan menjadi artis tentu sebuah kesimpulan yang dapat diambil sendiri. bukan saya mengatakan menjadi artis bukanlah sebagai pekerjaan yang sembarangan, namun gaya hidup glamor menjadi pandangan yang tak terbantahkan, dan kebanyakan kontes ini memang menjembatani mereka untuk bekerja di dunia entertainment. Berbicara tentang dunia entertainment, sebenarnya tidak sulit melacak tingkat intelegensi setiap alumni kontes ratu kecantikan karena banyak diantara mereka yang tampil di layar kaca kita setiap hari. Singkatnya, bagi saya "aksesoris" lainnya sebagai duta wisata juga tidak menjadi alasan kuat bagi eksistensi kontes semacam ini.

Ada lagi hal yang menurut saya konyol. Kebanyakan kontes kecantikan lebih menghargai "gift" ketimbang "achievement", bukan hanya menyangkut masalah fisik namun salah satu diantaranya perihal kemampuan bahasa asing. Masyarakat Indonesia kebanyakan terkagum-kagum pada mereka yang fasih berbahasa Inggris. Tentu kemampuan bahasa asing sangat penting sekali apalagi kalau dihubungkan dengan pencitraan si pemenang nantinya sebagai duta wisata, namun konyolnya ajang ini justru melalaikan kemampuan bahasa Indonesia si pemenang. Lebih parahnya lagi, biasanya mereka yang fasih berbahasa asing memiliki wajah campuran Indonesia dan kebule-bulean dan bahasa Indonesianya patah-patah alias tidak karuan. Jelas saja yang bertampang indo bahasa asingnya lebih lancar ketimbang yang berwajah murni Indonesia, karena sedari kecil mereka tumbuh dalam pengasuhan dengan dua atau multi bahasa. Jadi apa yang mau dikagumi dari peserta yang berwajah indo dan fasih berbahasa asing?

Ada beberapa kalangan yang berpengalaman menangani kontes ratu kecantikan bersaksi bahwa nuansa kompetisi sangat kuat. Kuatnya kompetisi bisa berarti baik, namun juga sebaliknya. Bukan sekali dua kali saya mendengar bahwa dalam ajang kecantikan ini pun masih berlaku KKN dan suap. Kritik ini tidak dapat dianalogikan dengan membubarkan kompetisi sepakbola karena terlalu banyak mengundang kerusuhan, karena sepakbola sesungguhnya bernilai netral. Ajang kompetisi ratu kecantikan tidak sama dengan sepakbola yang jelas-jelas menjunjung nilai luhur memelihara jasmani dan sportivitas. Kontes ratu kecantikan bagi saya banyak bersinggungan dengan nilai belief, etis dan estetika yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat, sehingga wajar eksistensinya terus diperdebatkan.

Jadi teringat, beberapa tahun yang lalu saya sempat menyaksikan pemilihan kontes ratu kecantikan di Indonesia maupun sejagat. Jawaban yang diberikan kontestan terhadap pertanyaan dari para juri kadang-kadang mengusik saya, terutama bila saya menemukan kontestan yang mampu menjawab dengan baik justru tidak keluar sebagai pemenang. Tentu ini tidak salah, karena konsep kontes ini adalah kecantikan fisik.