Minggu, 07 Juni 2009

HANYA OPINI TENTANG KONTES RATU KECANTIKAN


Haha.. agak trauma saya mendengar kasus Prita Mulyasari yang digugat berkaitan dengan sharing-nya, jadi saya tegaskan ini hanya opini, jadi boleh setuju atau sebaliknya.

Sudah lama saya tidak melihat ajang kontes kecantikan baik yang berskala nasional maupun internasional. Beberapa hari ini ada beberapa komentar atau perbincangan di internet mengenai pemilihan miss indonesia yang baru saja berlangsung.

Untuk mengatakan dukungan terhadap kontes kecantikan terus terang saya tidak mampu, namun saya menghargai bila memang masih banyak orang yang merasa perlunya kontes-kontes seperti ini. Tentu ini bukan lantaran saya frustrasi karena tidak cantik (hehe), tapi berat hati saya untuk mengatakan bahwa ajang ini bermanfaat bagi banyak orang, nusa dan bangsa (kecuali bagi yang senang melihat parade wanita cantik berpakaian minim). Dulu saya sempat bertanya-tanya mengapa pemerintah Indonesia tidak pernah secara resmi mensupport puteri-puterinya untuk tampil dalam ajang seperti ini (paling banter menteri pariwisata), dan saya sendiri tidak terlalu tertarik untuk mengatasnamakan budaya dan adat ketimuran yang berlawanan dengan kontes ratu kecantikan. Bagi saya ini tidak sepenuhnya berkaitan dengan budaya barat vs timur, karena banyak kalangan di masyarakat barat yang juga tidak setuju dengan ajang ini.

Saya tidak akan merunut alasan dari sisi agama, saya sendiri masih harus banyak belajar tentang agama yang saya anut. Pertimbangan saya lebih mengacu pada substansi tujuan, proses, penilaian, dan hasil ajang kontes ratu kecantikan.

Nilai kecantikan dalam kontes pada umumnya merupakan tolok ukur wajib. Meskipun cantik itu sendiri sebenarnya juga relatif, kontes kecantikan menggunakan ukuran absolut. Alhasil, kontes kecantikan membentuk standar kecantikan di sekitar kita. Namun sebenarnya bukan ini yang menjadi keprihatinan saya, karena bagaimanapun ukuran kualitas (bila kecantikan merupakan kualitas bukan kuantitas) memang terdiri atas dua, yakni relatif dan absolut. Tidak ada alasan bagi saya untuk memusuhi yang cantik. Jika ada orang yang cantik tentu bukan "salahnya" menjadi cantik, demikian juga bagi yang kurang (tidak cantik seperti saya hehe).

Perhatian saya lebih kepada penggunaan embel-embel "brain" and "behavior". Tentu penjurian menggunakan proporsi yang tidak sama antara beauty, brain dan behavior masing-masing peserta. Kalau sama, saya yakin yang bisa masuk dalam ajang ini bukan hanya yang bertubuh langsing dan berwajah simetris, namun juga yang sebaliknya asalkan memiliki otak dan perilaku yang di atas rata-rata. Jadi, jelas memang kontes-kontes ini tidak lebih dari menilai kecantikan. Sisanya hanya menjadi aksesoris, seperti layaknya bila saya tidak suka sayuran namun terpaksa mengambil menu sayuran sebagai lauk pauk saya karena takut dikatakan tidak menyukai makanan sehat. Padahal menu sayuran yang saya ambil kelak juga akan saya buang, atau bila pun saya makan porsinya hanya sedikit.

Hal lain yang "mengganggu" saya adalah tentang tujuan dari kontes ini. Katakanlah sebagai duta wisata, apa benar ada signifikansi hasil pagelaran ini terhadap jumlah turis yang datang. Kenyataan bahwa kebanyakan outcome kontes kecantikan menjadi artis tentu sebuah kesimpulan yang dapat diambil sendiri. bukan saya mengatakan menjadi artis bukanlah sebagai pekerjaan yang sembarangan, namun gaya hidup glamor menjadi pandangan yang tak terbantahkan, dan kebanyakan kontes ini memang menjembatani mereka untuk bekerja di dunia entertainment. Berbicara tentang dunia entertainment, sebenarnya tidak sulit melacak tingkat intelegensi setiap alumni kontes ratu kecantikan karena banyak diantara mereka yang tampil di layar kaca kita setiap hari. Singkatnya, bagi saya "aksesoris" lainnya sebagai duta wisata juga tidak menjadi alasan kuat bagi eksistensi kontes semacam ini.

Ada lagi hal yang menurut saya konyol. Kebanyakan kontes kecantikan lebih menghargai "gift" ketimbang "achievement", bukan hanya menyangkut masalah fisik namun salah satu diantaranya perihal kemampuan bahasa asing. Masyarakat Indonesia kebanyakan terkagum-kagum pada mereka yang fasih berbahasa Inggris. Tentu kemampuan bahasa asing sangat penting sekali apalagi kalau dihubungkan dengan pencitraan si pemenang nantinya sebagai duta wisata, namun konyolnya ajang ini justru melalaikan kemampuan bahasa Indonesia si pemenang. Lebih parahnya lagi, biasanya mereka yang fasih berbahasa asing memiliki wajah campuran Indonesia dan kebule-bulean dan bahasa Indonesianya patah-patah alias tidak karuan. Jelas saja yang bertampang indo bahasa asingnya lebih lancar ketimbang yang berwajah murni Indonesia, karena sedari kecil mereka tumbuh dalam pengasuhan dengan dua atau multi bahasa. Jadi apa yang mau dikagumi dari peserta yang berwajah indo dan fasih berbahasa asing?

Ada beberapa kalangan yang berpengalaman menangani kontes ratu kecantikan bersaksi bahwa nuansa kompetisi sangat kuat. Kuatnya kompetisi bisa berarti baik, namun juga sebaliknya. Bukan sekali dua kali saya mendengar bahwa dalam ajang kecantikan ini pun masih berlaku KKN dan suap. Kritik ini tidak dapat dianalogikan dengan membubarkan kompetisi sepakbola karena terlalu banyak mengundang kerusuhan, karena sepakbola sesungguhnya bernilai netral. Ajang kompetisi ratu kecantikan tidak sama dengan sepakbola yang jelas-jelas menjunjung nilai luhur memelihara jasmani dan sportivitas. Kontes ratu kecantikan bagi saya banyak bersinggungan dengan nilai belief, etis dan estetika yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat, sehingga wajar eksistensinya terus diperdebatkan.

Jadi teringat, beberapa tahun yang lalu saya sempat menyaksikan pemilihan kontes ratu kecantikan di Indonesia maupun sejagat. Jawaban yang diberikan kontestan terhadap pertanyaan dari para juri kadang-kadang mengusik saya, terutama bila saya menemukan kontestan yang mampu menjawab dengan baik justru tidak keluar sebagai pemenang. Tentu ini tidak salah, karena konsep kontes ini adalah kecantikan fisik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar