Selasa, 20 Januari 2009

OBAMA AND HIS FIRST SPEECH AS THE PRESIDENT OF USA

Pelantikan presiden AS, Barack Obama menyisakan banyak kesan bagi saya. Saya memang Cuma menonton via televisi swasta, namun saya harap apa yang saya peroleh tidak jauh beda bila saya berada di halaman gedung putih pada Selasa siang nan dingin di Washington (katanya sih suhu 0-4 derajat Celsius).

Sepertinya seluruh dunia merasa punya ikatan dengan presiden ke 44 AS ini. Akarnya yang multicultural mengundang daya tarik bagi masyarakat dunia. Pidato Obama tercatat sebagai pidato presiden pertama yang menyebut berbagai agama atau kepercayaan di Amerika dan atau dunia. Terlepas dari diragukannya Obama untuk membuat perubahan yang berarti, ada beberapa hal yang menggelitik saya, sebelum, selama dan sesudah pelantikannya sebagai Presiden AS.

Pertanyaan pertama dibenak saya, apakah satu decade lagi AS tetap menjadi Negara adidaya? Kalaupun tidak satu decade lagi, apakah dua decade lagi, atau bahkan puluhan tahun, tapi yang jelas apakah dan kapankah AS tidak lagi menjadi Negara superpower di dunia. Bukan berarti saya berharap kejatuhan AS, tapi berdasarkan sejarah bangsa-bangsa baik yang tercatat di berbagai Alkitab Qur’an, Bible, atau catatan sejarawan, setiap bangsa punya masa kejayaan. Artinya, setiap bangsa juga mengalami masa kemunduran.

Melompat dari AS ke Indonesia, lebih dari lima belas tahun lalu saya pernah berkata pada Ayah saya, “Golkar pasti akan kalah Pak kalau caranya begini”. Ucapan yang keluar dari anak ABG dan sok tahu ini dulu ditanggapi Ayah saya berupa, “Gak mungkin, infrastruktur Golkar bagus, PNS saja jumlahnya sudah berapa”. Saya dan Ayah memang sering diskusi mengenai fenomena social, sedari kecil Ayah sering bercerita banyak hal termasuk suhu politik. Tapi apa nyana, kira-kira lima tahun kemudian terjadi gejolak di Indonesia yang akhirnya membuat Ayah saya semakin sering diskusi dengan saya.

Golkar atau pemerintah Orde Baru sebenarnya runtuh karena kesalahan dirinya sendiri. Sikap otoriter dan korup nyata-nyata menggerogoti bangsa ini. Kesalahan internal juga menjadi penyebab sebenarnya krismon di AS yang konon berpangkal dari macetnya kredit perumahan. Pidato pertama Obama sebagai Presiden membuat saya bisa mengintip betapa rapuh sebenarnya bangsa Amerika. Obama menyatakan keprihatinannya terhadap nilai-nilai loyalitas, patriotisme dan kepercayaan diri bangsa Amerika belakangan ini. Kawan saya seorang warga Negara AS bertutur bahwa akibat krisis keuangan, semakin banyak warga yang mengantri makanan berkupon. Ini mungkin bisa dikomparasikan dengan antrian BLT atau sembako murah. Saya tidak tahu kalau krisis Amerika kini ternyata sebegitu parahnya. Kawan saya lainnya yang tinggal di LA bercerita betapa semakin banyaknya pengangguran di sekitarnya. Krisis ini merembet pada Negara-negara lapis kedua yang ekonominya ditopang oleh Amerika (konon kalau Indonesia masih lapis ketiga). Singapura sebagai contoh, banyak tenaga kerja terancam di PHK atau berhenti sementara akibat krisis di Amerika. Maklum saja, banyak perusahaan yang saham terbesarnya dikuasai oleh Amerika. Di tanah air, salah satu perusahaan Amerika pendulang emas juga mengalami krisis rembesan dari induknya sehingga PHK menjadi isu yang kian akrab di telinga pegawai-pegawainya.

Dalam pidatonya, Obama Nampak sadar bahwa tantangan yang dihadapinya berbeda dengan apa yang dihadapi Abraham Lincoln ketika menggagas penghapusan perbudakan. Kini ia berada di suatu bangsa yang amat sangat multicultural, super heterogen. Nasionalisme bukan lagi mengambil bentuk yang dulu, kini nasionalisme harus bermetamorfosa menjadi bentuk-bentuk baru. Nasionalisme menjadi semakin dinamis dan lentur. Merujuk Stanford Encyclopedia of Philosphy, Nasionalisme umumnya dijelaskan dalam dua fenomena, yang pertama perilaku penduduk sebuah negara yang memperlihatkan kepedulian mereka tentang identitas nasionalnya, dan yang kedua adalah tindakan yang dilakukan penduduk sebuah bangsa dalam rangka mencapai tujuan nasional. Tidak konsumtif, mencintai produk dalam negeri adalah dua diantara bentuk nasionalisme era baru yang harus dikembangkan di AS kini. Menurut banyak orang Indonesia yang pernah bermukim di AS, belakangan ini AS kurang jagoan dalam berkompetisi dengan Negara-negara lain dalam hal produk-produk elektronik dan otomotif.

Kepercayaan diri rakyat AS bisa saja runtuh karena perilakunya sendiri. AS memiliki banyak musuh, CIA ternyata tidak sejago di film-film action ala Mission Impossible, mosi tidak percaya pada pemerintahannya sendiri, dan kegagalan dalam membentuk warga Negara baru yang baik. Berdatangannya imigran dari seluruh penjuru dunia yang menjadikan konsep “melting pot” laku di AS kini justru saya pertanyakan. Analoginya begini, pedagang kaki lima di Jakarta dan Yogyakarta punya perbedaan mendasar perihal sikap menjaga kebersihan. Di Jakarta, kepedulian pedagang terhadap kebersihan jauh lebih rendah di banding dengan yang terdapat pada pedagang di Yogyakarta. Para komuter atau perantau di Jakarta merasa tidak memiliki Jakarta, mereka hanya numpang hidup dan cari makan. Hal yang hampir serupa menurut saya terjadi juga di AS. Banyak Negara maju yang sebenarnya hampir sama dengan AS dalam hal pertumbuhan jumlah imigran. Perancis, sebagai contoh, diramalkan kira-kira tiga puluh-lima puluh tahun lagi memiliki warga Negara yang kebanyakan berdarah campuran. Dengan kata lain dalam jangka waktu tersebut akan sulit menemukan orang asli Perancis akibat perkawinan campur. Tentu ini mengundang sikap cermat dan antisipatif agar perubahan komposisi penduduk tidak merugikan bagi Negara.

Terpilihnya Obama tentu dipengaruhi intervensi Tuhan. Begitu dramatis karena warna kulitnya, karena begitu hijaunya ia dalam percaturan politik AS (ia tidak pernah menjadi bagian eksekutif seperti walikota atau Gubernur), karena ia datang dari Hawaii bukan dari kota besar di AS, karena Ayah kandung dan Ayah tirinya muslim, karena latar belakang keluarga dan masa kecilnya, karena ia harus memimpin AS di kala krisis moneter dan politik luar negeri, dan karena-karena lainnya. Bagi warga Negara AS, semangat Obama menjadi pemersatu khususnya di kalangan imigran dan golongan masyarakat marginal lainnya. Saya tidak terlalu banyak berharap pada Bapak dari dua puteri ini. Bagaimanapun dia berada dalam lingkaran sistem nilai dan budaya AS. Jadi teringat betapa groginya Obama ketika disumpah, semoga ini tidak menjadi pertanda buruk di masa kepemimpinannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar